Demokrasi di Aljazair
Oleh:
Muhamad Mulki
Mulyadi Noor
A.
Riwayat singkat
Negara
Aljazair atau biasa disebut dengan nama resminya Al-Jumhuriya
al-Jaza’iriya al-Dimugratiya al-Sha’biya adalah sebuah negara di
kawasan Afrika utara. Bahasa resmi negara Aljazair adalah bahasa Arab disamping
bahasa Prancis dengan dialek Berber. Wilayahnya berbatasan dengan Mali dan
Niger di sebelah selatan, sebelah utara berbatasan dengan laut tengah, sebelah
barat dengan Mauritania, sahara barat, dan Maroko. Negara Aljazair beribu kota
di Aljier dan terbagi dalam 31 distrik administrative yang biasa dikenal dengan
wilayat yang masing-masing dibagi lagi ke dalam sub-distrik (dairat). Dari
seluruh dairat dibagi-bagi lagi ke dalam 676 komune.
Luas
wilayah Aljazair adalah 919.325 Mil (2.331.123 km), posisi tanahnya berada pada
ketinggian 51 m hingga 3.002 m, dengan penduduk berjumlah 28.207.200 orang pada
tahun 1992/1993. Dengan luas tersebut Aljazair merupakan negara terluas ke-10
di dunia, terluas kedua di Afrika, dan mediterania. Bila ditelusuri ternyata
keberadaan daerah yang sekarang disebut Aljazair mempunyai sejarah yang cukup
panjang mulai dari 40 SM diperintah oleh bangsa Romawi, selanjutnya berturut-turut
dikuasai oleh Vandals, Byzantium (Nasrani), dan barulah pada akhir abad ke 7
ditaklukkan oleh Islam pada masa Bani Umayyah (682 M).[1]
Wilayah Aljazair dikuasai oleh dinasti Usmani pada tahun 1525 ketika Khayruddin
Barbarossa dan saudaranya Aruj menduduki kota Aljier dari cengkeraman Spanyol
dan menjadikannya pusat pemerintahan Usmani di wilayah Maghrib sampai dengan
penjajahan Perancis atas wilayah ini pada tahun 1830 M.[2]
Bersama
dengan hilangnya jajahan Perancis di Indochina pada tahun 1945, Pemberontakan
anti Perancis terbentuk kembali di Aljazair.[3] Pada
tahun 1954 dibentuklah gerakan kemerdekaan Aljazair yang bernama front de
liberation Nationale (FLN). Perancis mengerahkan kekuatan yang besar untuk
menghadapi gerakan tersebut, namun para pejuang Aljazair tidak mengenal
menyerah, dan akhirnya pada tanggal 4 Juli 1962 Aljazair mendapatkan
kemerdekaannya, dengan pengorbanan kurang lebih satu setengah juta warganya
yang menjadi syahid. Dalam masa penjajahan Perancis itu bahasa Arab hampir
hilang digantikan oleh bahasa Perancis. Maka setelah merdeka negeri itu
mengadakan tiga revolusi sekaligus, yaitu revolusi kebudayaan termasuk program
Arabisasi, Revolusi agrarian, dan revolusi industri. Pergolakan yang terjadi di
Aljazair sekarang ini adalah saling tarik menarik antara kekuatan Islam dengan
kekuatan militer yang berkuasa.[4]
B.
Pemerintahan di Aljazair
Referendum
yang dibuat di Aljazair pada 1 Juli 1962, membawa pemilihan yang sangat besar
bagi kemerdekaan, dan pada 3 Juli 1962 presiden de Gaulle mengakui kemerdekaan
dan kedaulatan Aljazair. Pemerintahan sementara kemudian pindah ke Aljier. Pada
tanggal 25 September 1962, Ferhat Abbas terpilih menjadi juru bicara dewan dan
Ben Bella menjadi perdana menteri.[5] Pemerintahan
Ben Bella menghasilkan sebuah majelis konstituante nasional untuk menyusun
sebuah konstitusi, akhirnya Ben Bella dikukuhkan menjadi Presiden dan
menerapkan sebuah konstitusi sosialis dengan FLN sebagai partai tunggal. Ben
Bella dan militer mengeliminasi sejumlah oposisinya dari FLN dan menggantinya
dengan generasi yang lebih muda. Namun demikian lemahnya sistem kontrol
pemerintah tidak dapat menahan instabilitas politik yang terjadi di Aljazair.[6]
Pemerintahan
di Aljazair pasca kolonialisasi Perancis sangat tidak stabil dan diwarnai
kudeta militer atau percobaan kudeta. Sampai pada tahun 1976, 91% rakyat
pemilih menyetujui suatu piagam yang menetapkan bahwa sosialisme islam
dijadikan sebagai prinsip bernegara, serta dipakai sebagai landasan bagi
pembentukan suatu konstitusi baru menggantikan konstitusi lama yang sudah tak
terpakai lagi menyusul kudeta tak berdarah oleh kolonel Houari Boumedienne
tahun 1965. Masih pada tahun yang sama 99,2% dari sekitar 93% rakyat pemilih
menyetujui suatu konstitusi baru yang di dalamnya mengakui suatu negara
sosialis dengan sistem satu partai, Islam sebagai agama negara, dan bahasa Arab
sebagai bahasa resmi negara. Partai tunggal yang diakui adalah FLN.
Sebenarnya
dalam konstitusi sebelumnya partai FLN telah dijadikan sebagai partai tunggal negara
namun pada masa Presiden Boumedienne, posisi partai tersebut dalam pemerintahan
telah dimarjinalkan. Partai lebih dimanfaatkan sebagai alat bagi pemerintah dan
bukan sebagai penunjuk atau pengarah gerakan kearah sosialisme Islam seperti
tujuan semula. Bahkan Boumedienne telah pula membuat Consel de la Revolution
sebagai pengganti parlemen, dan tentu saja badan ini didominasi sekaligus
dikontrol oleh kolega-kolega militernya. Upaya-upaya untuk menyingkirkan elite
lama dalam partai pun telah dilakukan dan diperkeras menyusul kudeta yang gagal
dilakukan oleh kolonel Taher Zbiri yang termasuk kelompok kiri dalam partai.[7]
Kebijakan konstitusi Aljazair dengan satu partai ini bertahan dan relatif
stabil ditangan Boumedienne dan para penerusnya hingga 25 tahun kemudian menyusul
pemilihan umum multi partai pertama di negara itu pada tahun 1991 yang
dimenangkan oleh partai FIS.
Merujuk
pada konstitusi 1976, dalam bidang eksekutif disebutkan bahwa setiap 5 tahun
kongres FLN menominasikan seorang kandidat –tanpa saingan- bagi jabatan
Presiden. Presiden terpilih merangkap sekertaris jenderal FLN dan kepala
lembaga eksekutif. Presiden juga sekaligus kepala negara, kepala angkatan
bersenjata, dan menjadi menteri pertahanan. Mengingat sangat dominannya posisi
presiden dalam negara dan juga partai, meskipun di Aljazair terdapat lembaga
legislatif yang dikenal sebagai Al-majlis Al-Sha’bi Al-jazairi namun
kekuasaannya sangat terbatas. Jumlah anggotanya 261 orang yang dipilih setiap 5
tahun sekali. Calon anggota legislatif dipilij berdasarkan daftar nama yang
semuanya diajukan oleh FLN. Rakyat boleh memilih satu dari tiga nama yang
diusulkan dalam sebuah pemilihan langsung dan rahasia. Pamilu seperti ini telah
berlangsung sejak tahun 1964.[8]
Dalam
bidang yudikatif, Aljazair mempunyai Supreme Court yang menerima pertanggung
jawaban sekitar 132 kantor peradilan. Berbeda dengan konsep trias politika yang
mensejajarkan posisi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Supreme Court ini
berada di bawah kementrian kehakiman. Seluruh Hakim di Aljazair diangkat oleh
kementrian kehakiman dengan tugas utama hakim adalah untuk menjaga keamanan
revolusi sosialisme.[9]
C.
Pemilu 1991 dan dampaknya
Pada
tahun 1991 pertama kali dalam sejarah Aljazair modern diadakan pemilu
multipartai, yang pada awalnya terlihat sebagai titik terang bagi kebangkitan
demokrasi yang menyeluruh di negeri itu. Namun sebenarnya pemilu yang diadakan
pada tahun 1991 adalah awal dari perpecahan dan perang saudara yang
berkepanjangan di Aljazair. Pada tahun 1987 terjadi krisis ekonomi yang
mengakibatkan desakan rakyat Aljazair kepada Presiden Chadli Benjedid untuk
membubarkan sistem satu partai dan memberlakukan sistem pemilihan umum multi
partai.
Pemilu
putaran pertama pada tahun 1991 ini diikuti oleh beberapa partai yaitu: partai
Islam yang fundamental FIS (Front
Islamique du salut), Partai oposisi sekuler Front kekuatan Sosialis, dan partai
FLN sebagai partai pemerintah. Pada periode
tahun 1989-1991 FIS gencar melakukan ekspansi dakwah ke seluruh penjuru
Al-Jazair. Para kader FIS menyebar ke seluruh pelosok Al-Jazair untuk
menyadarkan masyarakat bawah akan kesempurnaan Islam dan kejayaan Islam
di masa lampau yang berhasil menumpas ketidakadilan, kemiskinan, perbudakan dan
menggantinya dengan kesejateraan dan kejayaan umat. Penyeruan terhadap dakwah
Islam banyak disampaikan melalui khutbah-khutbah jum’at dan ceramah-ceramah di
masjid-masjid. Kebobrokan dan ketidakberhasilan pemerintah untuk mensejahterakan
kehidupan rakyat Al-Jazair juga banyak diwacanakan disertai dengan solusi
syariat Islam yang paling sempurna dibandingkan demokrasi ciptaan barat yang
kapitalistik dan mendatangkan kesengsaraan rakyat serta tidak sesuai dengan
syariat Islam.[10]
Karena
kepercayaan rakyat yang besar kepada FIS, partai Islam ini secara mengejutkan
muncul sebagai pemenang dalam pemilu ini mengalahkan FLN dengan kemenangan telak
dengan jumlah 300 kursi dari 599 yang diperebutkan, sedangkan FLN hanya
mendapatkan 16 kursi di parlemen.[11] Ternyata
kemenangan FIS ini membuat khawatir bangsa barat dan tokoh-tokoh sekuler yang
merasa terancam dengan naiknya FIS ke tampuk pemerintahan. Nilai-nilai Islam
yang diusung FIS seperti yang diutarakan pemimpin mereka Ali Benhaj yakni untuk
menegaskan peran Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan memerangi ketidakadilan.
Maka
untuk menggagalkan hasil pemilu ini militer membatalkan
pemilihan umum dengan memaksa presiden Benjedid mengundurkan diri tiga hari
sebelum pemilu putaran kedua digelar dan langsung mengambil alih tampuk
kepemimpinan. Dengan alasan keamanan negara,
kekuasaan diambil alih Badan Penasehat Presiden (HCS) yang menunjuk Mohammed Boudiaf
sebagai presiden baru. Namun Boudiaf tewas di tengah perundingan damai dengan
FIS. FLN tampil lagi sebagai partai berkuasa.[12]
Peristiwa ini mengecewakan hampir seluruh rakyat Aljazair
yang menjerumuskan negara itu ke dalam perang saudara berdarah. Oleh
pemerintahan militer, FIS dibubarkan dan aktivisnya ditangkap. Simpatisan FIS
yang kecewa dengan kudeta yang dilakukan militer, pembubaran FIS dan
penangkapan aktivisnya akhirnya mengangkat senjata. Keadaan Aljazair saat itu
sangat mencekam. Masjid-masjid di seluruh negeri dikawal dan diawasi ketat oleh
tank-tank dan pasukan bersenjata lengkap. Para imam dan jamaah jum’at juga diawasi.
Selain itu, kantor-kantor FIS dan kampus-kampus tempat mahasiswa-mahasiswa
aktivis FIS juga tidak luput dari intaian ketat. Sampai maret 1992, jumlah
pendukung FIS yang ditangkap sekitar 30 ribu orang. Sekitar 3000 orang tahanan
ditempatkan di kamp-kamp gurun sahara yang panas. Diperkirakan 100.000 orang
telah tewas sejak perang dimulai pada Januari 1992. Perang sipil diumumkan
meningkat pada 1997-1998 dan semakin brutal dan sia-sia.[13]
Menyusul
gerakan bersenjata dari pengikut FIS ini penguasa lantas menyerukan untuk
berdamai dengan FIS lewat perantara komisi dialog nasional (CDN), namun upaya
ini masih sulit tercapai akibat tidak adanya kesesuaian antara pemerintahan
dengan syarat-syarat perdamaian yang diajukan oleh pihak FIS.
D.
Situasi terkini di Aljazair
Pemerintahan
di Aljazair saat ini berada di tangan partai FLN yang memenangkan mayoritas
suara pada pemilu 2014. President Abdelaziz Bouteflika terpilih lagi menjadi
presiden Aljazair pada april 2014 dengan 81 % suara.[14] Partai-partai
yang mengikuti pemilu 2014 adalah FLN, MSP (Harakat Mujtama’ As-Silm) Idari
kalangan islamis, Partai PRS (Partai sosialis revolusioner), dan NRD (Rally
Nasional untuk Demokrasi) yang cenderung otoriter.[15]
Bouteflika
telah memerintah Aljazair sejak tahun 1999. Pada masa pemerintahannya Aljazair
mengalami banyak kemajuan. Bouteflika bernegosiasi dengan pendukung FIS menyudahi
tujuh tahun perang saudara Aljazair pada tahun 2002, dan mengakhiri kekuasaan
darurat pada februari 2011. Disamping itu pada saat perang di Libya Bouteflika
mengambil kebijakan untuk melarang pesawat koalisi untuk melintasi wilayah
udara Aljazair.[16]
Pada tahun 1999, ia
menuju kursi kepresidenan dan diangkat sebagai calon bebas, dengan 74% suara,
menurut yang berwenang. Seluruh calon lainnya telah menarik diri dari pemilihan
dan menyebutkan keprihatinan atas kecurangan pada pemilu. Lalu Bouteflika
mengatur referendum pada kebijakannya untuk memulihkan perdamaian dan keamanan
di Aljazair dan menguji dukungannya di antara orang senegerinya setelah
perebutan pemilihan dan menang dengan 81% suara.
Pada April 2004, Bouteflika
diangkat kembali dengan 85% dalam suatu pemilihan yang dikatakan pengamat
sebagai contoh demokrasi di dunia Arab, saat berebut pengaruh dengan saingannya mantan
Kepala Staf Ali Benflis.
Riwayat penguasa
Republik Rakyat Demokratik Aljazair.
25 September 1962-15 September 1963
|
Ferhat
Abbas, Presiden Majelis Konstituante Nasional
|
FLN
|
|
15
September 1963- 19 Juni 1965
|
Ahmed
Ben Bella, Presiden
|
FLN
|
Digulingkan
melalui sebuah kudeta
|
19
Juni 1965- 10 Desember 1976
|
Kolonel
Houari Boumedienne (Presiden Dewan Revolusioner)
|
Militer/FLN
|
|
10
Desember 1976- 27 Desember 1978
|
Kolonel
Houari Boumedienne (Presiden)
|
Militer/FLN
|
Terpilih
pada 10 Desember 1976 hingga wafatnya.
|
27
Desember 1978- 9 Februari 1979
|
Rabah
Bitat (Presiden interim)
|
FLN
|
|
19
Februari 1979- 11 Januari 1992
|
Kolonel
Chadli Benjedid (Presiden)
|
FLN
|
Terpilih
pada 7 Februari 1979 dan terpilih kembali pada Februari 1984
|
11
Januari 1992- 14 Januari 1992
|
AbdelMalek
Benhabiles (ketua dewan Konstitusi)
|
Non- Partai
|
|
14
Januari 1992- 29 Juni 1992
|
Ahmad
Boudiaf, (Ketua dewan tinggi Negara)
|
PRS
|
Dibunuh
|
2 Juli
1992- 31 Januari 1994
|
Ali
Kafi (Ketua Dewan Tinggi Negara)
|
PRS
|
|
31 Januari 1994- 27 November 1995
|
Liamine Zeroual (Kepala Negara)
|
Non Partai
|
|
27 November 1995- 27 April 1999
|
Liamine Zeroual (Presiden
|
Non Partai/ RND
|
|
27 April 1999-Sekarang
|
Abdelaziz Bouteflika
|
FLN
|
E.
Daftar Pustaka
Thohir,
Ajid, Studi Kawasan Dunia Islam, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011
Mufrodi,
Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Logos, Jakarta, 1997
M.
Lapidus, Ira, Sejarah Sosial Umat Islam Bag III, Rajawali Press.
Abun
Nasr, Jamil, A History of Maghreb in Islamic Period, Cambrigde
University Press, 1987
Sihbudi, Reza Dkk, Profil Negara-Negara Timur Tengah,
Pustaka Jaya, Jakarta, 1995
[1] Reza Sihbudi
Dkk, Profil Negara-Negara Timur Tengah, hal: 2
[2] Jamil Abun
Nasr, A History of Maghreb in Islamic Period, hal: 151
[3] Ajid Thohir, Studi
Kawasan Dunia Islam, hal: 289
[4] Dr. Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Hal: 148
[5] Ajid Thohir, Studi
Kawasan Dunia Islam, hal: 291
[6] Ira. M.
Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam Bag III, Hal: 224
[7] Reza Sihbudi
Dkk, Profil Negara-Negara Timur Tengah, hal: 16
[8] Ibid, hal: 18
[9] Reza Sihbudi
Dkk, Profil Negara-Negara Timur Tengah, hal: 19
[11] Reza Sihbudi
Dkk, Profil Negara-Negara Timur Tengah, hal: 14
Komentar
Posting Komentar