Ekonomi dan perniagaan di Asia tenggara abad ke 15-17 M
Oleh:
Mulki Mulyadi Noor
A.
Pendahuluan
Sebelum memulai
pembahasan ini mari kita sejenak membayangkan pada zaman ketika Nusantara
menjadi primadona dunia dimana para pedagang dari Eropa, China, India, Jepang
dan timur tengah berlayar ke kepulauan demi keuntungan yang berlipat-lipat dari
hasil bumi, kerajinan dan rempah-rempah yang melimpah. Pertukaran dagangan yang
bervariasi dan unik dengan harga yang murah memudahkan saudagar-saudagar ini
mendapatkan keuntungan yang luar biasa saat kembali ke negeri mereka
masing-masing. Mari kita membayangkan sebuah pelabuhan tradisional dan unik
tapi ramai dengan kapal-kapal dengan berbagai bentuk dan bendera, dan juga
wajah-wajah asing yang berlalu lalang di kampung-kampung serta bagaimana
gambaran pemerintahan melayu yang ketika itu berbentuk kerajaan yang bersifat
sangat terbuka bagi dunia luar. Mari kita membayangkan.
Benar, perdagangan
adalah hal yang paling vital bagi daerah-daerah di kawasan Asia tenggara. Sejak
dulu hingga sekarang Asia tenggara selalu menjadi ladang yang subur bagi
perdagangan antar benua. Zaman keemasan Asia tenggara sebagai pusat perdagangan
dunia adalah pada masa-masa di awal abad kelima belas ketika Islam mulai
memapankan kehadirannya dengan pembentukan masyarakat dagang yang substansif di
wilayah-wilayah pelabuhan di utara Sumatera, timur Jawa, Champa, dan pesisir
timur semenanjung Malaya[1].
Asia tenggara sendiri memiliki daya tarik yang sangat besar disamping tanahnya
yang subur dan alamnya yang eksotik, hawa dan musimnya pun selalu stabil
sehingga mengakibatkan perdagangan dunia selama ribuan tahun seakan tiada
putus-putusnya di kawasan ini.
B.
Jalur perdagangan
Untuk
menggambarkan arus perdagangan dunia kala itu, saya akan menjelaskan sedikit
tentang jalur-jalur perdagangan yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu.
Hubungan perdagangan antara timur dan barat telah ada setidaknya sejak abad
kedua sebelum masehi. Jalur tersebut terdiri dari jejaring perdagangan antar
negara yang saling terhubung satu sama lain yang membentang mulai dari daratan
China hingga Eropa dan juga melalui lautan melintasi Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia mulai dari China, Asia tenggara, India timur tengah hingga
wilayah laut tengah dan Eropa. Terdapat tiga jalur perdagangan kuno paling
utama yang menghubungkan Timur dan Barat yaitu:
1.
Jalur
Sutera: jalur ini dimulai dari Chang-an (China) hingga konstantinopel di Turki
dan dibuka pada abad kedua sebelum Masehi, jalur ini menjadi jalan raya bagi
pertukaran budaya antara Eropa, timur tengah, dan Asia. Dinamakan Jalur sutera
karena Sutera adalah komoditi terbesar dalam perdagangan dan sangat diminati di
timur tengah dan Eropa.
2.
Jalur
Keramik: Jalur ini berkembang pesat pada aman Dinasti Tang dan Dinasti Song
(618-1279). Jalur maritime ini dari Guangzhou dan Quanzhou melewati kepulauan
Melayu dan berakhir di teluk Persia. Benda-benda keramik adalah produk ekspor
China ke barat yang sangat besar dalam jalur ini.
3.
Jalur
Rempah-rempah: Jalur arteri ketiga ini adalah jalur terpenting bagi perdagangan dan komunikasi antara timur
dan barat selama lebih dari satu milenium. Jalur tersebut menjembatani perdagangan
melintasi Samudera Hindia dan juga terhubung dengan Jalur Keramik. Jalur ini
bukanlah jalur tunggal melainkan lintasan sempit di laut yang menghubungkan
Mediterania dan timur jauh dan membentang sepanjang 7.500 mil melintasi timur
tengah, mengelilingi India, melewati selat Malaka hingga ke China dan kepulauan
rempah-rempah di Maluku.[2]
C.
Kota-kota perdagangan
Selanjutnya
adalah pembahasan tentang kota-kota perdagangan yang tumbuh pada masa itu, Abad
ke 15 atau sekitar tahun 1400-an. Pusat perdagangan Asia tenggara ketika itu diantaranya
adalah Pegu (Burma), Ayutthaya (Thailand), Champa, Malaka, Patani, Brunei,
Pasai, Aceh, Banten, Jepara, Gresik, dan Makassar. Sampai sebelum masa kemundurannya,
kota-kota ini pada masanya adalah pusat perekonomian regional, kekuasaan
politik dan kreatifitas budaya yang menonjol. Zaman perdagangan telah memungkinkan
Asia tenggara memainkan peranan penting dalam perdagangan dunia. Cengkih, pala,
lada, dan kayu cendana yang dihasilkannya merupakan komoditas utama dalam
perdagangan antar benua. Diantara faktor-faktor yang menjadikan kawasan ini
menjadi sangat penting adalah.
1.
Letak
geografisnya sangat mendukung perdagangan maritim.
2.
Sistem
pemerintahannya yang sangat terbuka bagi dunia luar.
3.
Melonjaknya
rempah-rempah dari Maluku di Laut tengah dan Eropa
4.
Banyaknya
armada yang dikirim Kekaisaran China ke Asia tenggara.[3]
Di sini saya
akan menyebutkan beberapa kota-kota pelabuhan yang paling penting di Asia
tenggara, diantaranya adalah:
1.
Malaka
Malaka, sebagai
kota pelabuhan besar pada zamannya menarik sebagian besar saudagar untuk
berniaga. Letak geografisnya membuat Malaka menjadi kota perdangangan
internasional yang terkemuka, menjadi kota penghubung antara dunia barat dan
timur serta menjadi tempat berkumpulnya segala jenis komoditi perdagangan yang
ada di dunia. Malaka dibangun sekitar tahun 1400 ditempat paling sempit di
selat Malaka oleh seorang bangsawan Sriwijaya dari Palembang bernama
Prameswara, di mana pelayaran dari pasai dan samudera hindia harus melewatinya
dalam perjalanan ke Cina atau Jawa.
Malaka yang merupakan pusat entripot, ingin
menjalin hubungan dagang yang baik dengan pelabuhan-pelabuhan di Jawa seperti
di Demak, Jepara dan Tuban. Bertambahnya jumlah penduduk Malaka sangat tergantung
dengan Jawa untuk mendapatkan beras. Selain Jawa, Malaka juga harus mendapatkan
beras dan lada dari Pasai. Hubungan Malaka dan Cina berupa hubungan diplomatik.
Keinginan Kaisar Yongle (China) untuk menjadi pelindung bagi semua orang
menjadi berkah bagi Malaka dengan menanggapi secara cepat inisiatif dari kaisar
china itu. Malaka mengirim utusan pada tahun 1405-1407 dan tiga raja Malaka
sendiri pergi menghadap Maharaja Ming sebanyak lima kali antara tahun 1411
hingga 1434. China juga mengirimkan perutusan ke Malaka dalam tahun
1403-1413, sebagian besar armada ini di pimpin oleh Laksamana Cheng Ho.[4]
2.
Aceh
Didirikan pada
tahun 1520-1524 melalui operasi militer kerajaan Aceh Darussalam terhadap
kerajaan-kerajaan pesisir dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah yang
mengakhiri intervensi Portugis di pantai utara Sumatera.[5]
Sultan Ali juga menyatukan negara-negara pelabuhan yang merdeka seperti Baros,
Daya, Lamri, Pidie, dan Pasai. Selama Selama masa pemerintahan Sultan Alauddin
Ri’ayat Syah Al-Kahar (1539-1571), perdagangan di semua pelabuhan itu
dipusatkan di Banda Aceh yang menjadi pelabuhan Muslim yang utama di wilayah
selat Malaka, dari mana lada dan rempah-rempah lainnya dari Asia tenggara
diekspor ke timur tengah dan laut tengah. Sejak tahun 1590-an kerajaan Aceh
berkembang menjadi absolut yang memuncak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda. Ini memungkinkan Aceh menghadapi lawannya secara militer namun tidak
menguntungkan dari segi perdagangan. Aceh merupakan satu-satunya pelabuhan di
Nusantara yang tidak pernah dipengaruhi orang-orang barat, dan sekalipun
kekuasaannya memudar di akhir abad ke 17, Aceh tetap menjadi kekuasaan yang
penting.[6]
3.
Champa
Champa adalah
pusat awal pengaruh Islam di daratan Asia tenggara, yang terletak strategis
pada jalur perdagangan ke China dan Jepang. Champa terlibat hubungan bahasa,
etnisitas, dan diplomasi dengan rakyat kepulauan Asia tenggara. Para pedagang
Muslim telah menetap disana sedikitnya sejak Abad ke XI, dan pengaruh Muslim
terus meningkat sejak 1471. Sejak tahun 1670-an sebagian besar penduduk Champa
termasuk rajanya telah menganut Islam.[7]
4.
Makassar
Makassar adalah
titik temu antara jalur niaga di belahan timur (Maluku, Papua), dan barat
(Kalimantan, Malaka, Jawa, Asia selatan dan eropa) dan antara jalur niaga
sebelah utara (Philipina, Jepang dan China) dan Selatan (Nusa tenggara dan
Australia). Sejak pertumbuhannya pada abad ke 15 Makassar telah menunjukkan peran
sebagai pelabuhan penting dalam perdagangan dunia dan masuk pula dalam jaringan
perdagangan sutera antara asia dan eropa.[8]
Persekutuan
orang-orang Makassar terjadi antara dua kerajaan yaitu Goa yang bersifat
militeristik dan padat penduduk, dan Tallo yang berorientasi kearah perdagangan
maritim. Abad ke 16 adalah masa pertumbuhan Makassar sebagai pelabuhan utama
dan surplus beras di wilayah itu. Usaha belanda untuk memonopoli perdagangan
rempah-rempah menjadikan Makassar sebagai pelabuhan terbuka yang penting bagi
semua pedagang termasuk Melayu, Jawa, India Selatan, Portugis, Inggris,
Denmark, dan Spanyol. Sejak penaklukkan VOC terhadap Malaka-Portugis, Makassar
menjadi pusat perdagangan orang-orang portugis selama 20 tahun berikutnya.
Makassar juga memiliki daya serap teknologi militer yang cukup mumpuni dengan
menerjemahkan teks-teks portugis di bidang militer.[9]
5.
Banten
Pendirinya
adalah Sunan Gunung Jati pada tahun 1520-an, dibentuk sebagai negara pelabuhan
muslim yang strategis serta untuk melemahkan kekuasaan kerajaan Hindu
Padjajaran yang baru ditaklukkan pada tahun 1596. Pengaruh Banten meluas sampai
ke Sumatera bagian selatan dan memungkinkan Banten menjadi berkuasa seperti
halnya Aceh. Sementara Aceh menjadi pemasok lada ke Barat, Banten memasok pasaran
China. Belanda sejak tahun 1596, dan Inggris sejak tahun 1602 menjadikan Banten
sebagai pusat perdagangan mereka di Asia tenggara. Ini dikarenakan Banten
berada dalam keadaan pluralistik dan terbuka, suatu hal yang tidak berlaku di
Aceh. Sultan AbdulQadir (1596-1624) merupakan masa oligarkhi yang kaya,
Sultan-sultan setelahnya menjadi makin berkuasa hingga puncaknya pada masa
Sultan Independen terakhir banten yaitu Sultan Abdul Fatah Ageng Tirtayasa
(1651-1682).[10]
6.
Cirebon
Cirebon adalah
kota perdagangan di pesisir utara Jawa yang didirikan oleh Syarif Hidayatullah
atau Sunan Gunung jati yang mengajarkan Islam di gunung sembung. Cirebon juga
menjadi pusat keagamaan seperti Tasawuf dan tarekat-tarekat.[11]
Menurut catatan Tome pires Cirebon merupakan kota pelabuhan yang bagus dan
ramai. Banyak kapal yang berlabuh di sana antara lain 3 sampai empat Junk dan
beberapa lancara (kapal-kapal yang berukuran besar. Tome Pires hanya mencatat
kapal-kapal besar karena pada masa itu berlaku tradisimenilai sebuah pelabuhan berdasar
kemampuannya dilabuhi kapal besar, namun dipastikan kapal-kapal kecil di bawah
Junk dan lancara jauh lebih banyak.
Keramaian
Cirebon terlihat lagi dari jumlah penduduknya yang mencapai seribu jiwa dengan
5 atau 6 saudagar. Salah satunya yang paling terkenal adalah Pati Quedir yang
cerdik, berani dan dihormati. Dari catatan Tome Pires pula diketahui bahwa
barang komoditi Cirebon berupa beras dan bahan makanan lainnya. Sayangnya tidak
disebutkan secara detail jenis-jenis makanan yang diperdagangkan tersebut.[12]
Sementara
pelabuhan lainnya tidak bisa disebutkan disini secara detail dikarenakan
terbatasnya sumber.
D.
Perkapalan
Menurut Tome Pires, Raja-raja di
Pahang, Kampar, dan Inderagiri mempunyai kantor dagang di Malaka, sekalipun
pada umumnya peranan mereka pasif. Rupanya raja-raja ini tidak mempunyai kapal.
Namun melalui perwakilannya di Malaka mereka mempunyai saham dalam kapal dan
perahu yang berlayar ke Malaka. Untuk membuat kapal besar dan mengisi ruang
penuh dengan barang dagangan memang membutuhkan modal yang tidak sedikit, maka
dari itu para sultan menginvestasikan modal mereka untuk memenuhi muatan kapal
milik orang lain. Disamping itu ada juga kapal Malaka yang menjadi hak milik
penuh Sultan, dalam hal ini diwakili oleh seorang saudagar atas nama Sultan.
Menutur Pires dalam setiap kapal yang berangkat dari Malaka ada sebagian barang
milik Sultan. Bahkan Sultan Mudzaffar Syah meminta dibuatkan baginya sebuah
kapal dan kemudian disuruh berlayar dengan dagangannya yang dititipkan kepada
para saudagar.[13]
Ciri-ciri yang paling tampak dari
kapal asli asia tenggara adalah sebuah lunas, sebuah lambung yang dibentuk
dengan menyambungkan papan-papan pada lunas dan kemudian saling disambungkan
dengan pasak kayu, tanpa menggunakan paku besi atau kerangka, haluan dan
buritan sama-sama menonjol, dua kemudi seperti dayung, dan bentuk layar segi
empat tertentu. Kapal seperti ini adalah kapal barang kecil yang sangat
praktis, papan-papan yang dipasak lebih rapat daripada papan yang dipaku dengan
kerangka, dan model seperti ini terus dibuat di berbagai tempat di nusantara.
Ribuan kapal semacam itu mengangkut barang apa saja dari 4 hingga 40 ton selama
berabad-abad di perairan asia tenggara.
Namun pada abad ke 15 dan 16,
kapal-kapal yang lebih besar bermunculan dengan dua atau tiga buah tiang tetapi
banyak memakai ciri kapal asia tenggara yang sama. Kapal ini mengangkut barang
lebih banyak dengan jarak yang lebih jauh. Kapal besar ini biasa disebut Junk
(inggris), jung (China), dan Jong (Melayu, Jawa). Sejumlah jung di laut China
selatan tentulah dibuat oleh tukang kayu asia tenggara yang bahan kayunya lebih
baik dan murah untuk pemiliknya yang orang Cina. Tentu saja ciri-ciri jung cina
ini mengikuti khas asia tenggara dengan lambung tanpa dipaku dan kemudi kembar.[14]
Kapal yang bergaya eropa kemudian dipakai di kesultanan Banten karena dianggap
lebih kuat dan modern.
E.
Komoditi perdagangan
Selain itu komoditi
dagang yang masuk ke Asia tenggara semakin bervariasi pada abad ke 15 hingga 17
diantaranya emas dan perak, tekstil, rempah-rempah, dan tanaman-tanaman impor
lainnya. Rempah-rempah merupakan komoditi primadona karena keuntungan yang
paling besar diperoleh darinya. Rempah-rempah yang dikenal orang Eropa pada
masa itu terdiri atas kayu manis yang berasal dari Ceylon, Pala yang berasal
dari banda, Cengkeh yang hanya didapatkan di dua pulau yaitu Ternate, dan
tidore di Maluku, dan Lada yang berasal dari India.[15]
Selain rempah-rempah
tekstil dari india juga menguasai pasar asia tenggara dalam waktu yang lama.
Tekstil selalu menjadi barang yang paling banyak memerlukan pengeluaran di Asia
tenggara. Pedagang Inggris, Belanda, dan Perancis membawa peraknya untuk
membeli tekstil dari India yang menjadi barang penting guna berdagang di
wilayah Asia tenggara. Sebelum penaklukan Malaka oleh Portugis, lima perahu
dalam setahun mengangkut tekstil dari Gujarat ke kota tersebut. Kapal-kapal
asing dari Malabar, Pulicat, Bengala, setahun dua sampai tiga kali membawa
tekstil yang bernilai keseluruhan setara dengan 20 ton perak.
Lada adalah
komoditi paling menguntungkan di wilayah Sumatera yang menghasilkan perak dan
emas dalam jumlah banyak. Pusat perdagangan lada di utara Sumatera adalah Aceh,
sedangkan di selatan terletak di Banten. Pada puncak harga lada yang tinggi
pada sekitar tahun 1640-an, perak dari luar membanjiri pasar. Asia tenggara
mengekspor 6.500 ton lada dengan harga rata-rata 9 Real sepikul, ini rata-rata
setahun mencapai sekitar satu juta real atau 25 ton perak. Pada periode yang
sama Maluku juga menghasilkan 150.000 real atau sama dengan 4 ton perak.
Rata-rata perak tersebut berasal dari China dan Jepang.
Pedagang Eropa
harus mengeluarkan biaya lebih dari 10 ton perak untuk mendapatkan barang-barang
mewah dari timur. Menurut catatan sejarawan setelah pulihnya keadaan politik di
semenanjung Iberia, Portugis setiap tahun membawa sekitar 30 ton perak ke Goa.
Secara keseluruhan eropa mengirim 72 ton perak ke timur pada akhir Abad ke enam
belas melalui jalur Portugis maupun Levant. Pada awal abad ke tujuh belas perak
dari Amerika dan Jepang meningkat tajam di Asia tenggara akibat teknologi
ekstraksi menggunakan merkuri.[16]
F.
Mata Uang
Sepanjang abad
ke 15, Asia tenggara daratan tampaknya tidak mengadakan mata uang untuk
mendukung perdagangan. Mata uang perak di buat pada abad ke 5 sampai 10 namun
diedarkan secara terbatas. Dicetaknya mata uang di Asia tenggara daratan pada
abad ke 15 merupakan inovasi yang di dorong oleh kebutuhan perdagangan,
keinginan penguasa untuk memungut pajak dan mencontoh negara-negara Islam. Siam
maju dengan pembakuan mata uang peraknya pada 1430-an. Sementara mata uang emas
dicetak di Aceh dan Makassar pada masa keemasannya. Penguasa Johor dan kedah
mencetak mata uang emas bersegi delapan yang beratnya empat kali mata uang Aceh
namun biasanya di campur dengan logam.
Namun sebelum
itu mata uang tembaga Cina, dan mata uang setempat yang mengikuti modelnya
merupakan peletak dasar untuk komersialisasi di kawasan Asia tenggara. Kata
Cash berasal dari bahasa sansakerta, orang portugis menyebutnya Caixa sedangkan
orang di sekitar laut Jawa biasa menyebutnya dengan kata Jawa, picis. Mata uang
kecil dan bulat ini memiliki lubang ditengahnya untuk diikat sebanyak seribu
buah. Barangkali Laksamana Cheng Ho lah yang membuat mata uang Cina ini begitu
terkenal di Bandar-bandar kepulauan seperti Malaka dan Pasai. Tembaga, timah
dan perak atau campuran antara tembaga dan timah atau timah dan perak juga
banyak dijadikan sebagai mata uang di kepulauan ini namun berbeda dalam hal
kualitas dan kemurniannya mengikuti tempat dimana ia dibuat.[17]
G.
Daftar Pustaka
Reid,
Anthony, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1400-1680, Pustaka Obor, Jakarta, 2011
Joenoed,
Marwati Dkk, Sejarah Nasional Indonesia III, Balai Pustaka, Jakarta, 2008
Drs.
Adeng Dkk, Kota dagang Cirebon sebagai Bandar jalur sutera, Depdikbud, Jakarta,
1998
Azra,
Azyumardi, Renaisans Islam Asia tenggara, Rosdakarya, Bandung, 2006
Rasjid,
Abdul Dkk, Makassar sebagai kota Maritim, Depdiknas, Jakarta, 2000
Tan
Ta Sen, Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara, Kompas,
Jakarta, 2010
Sani
Usman, Abdullah, Krisis Legitimasi Politik dalam sejarah Pemerintahan di
Aceh, Kemenag RI, Jakarta, 2010
[1] Azyumardi
Azra, Renaisans Islam Asia tenggara, Hal: 60
[2] Tan Ta Sen,
Cheng Ho Penyebar Islam dari China ke Nusantara, Hal: 216
[3] Anthony Reid,
Asia Tenggara Dalam Kurun NIaga 1400-1680,
hal: xvii
[4]
Anthony Reid, Asia
Tenggara Dalam Kurun Niaga 1400-1680,
Hal: 239
[5] H.Abdullah
Sani Usman, Krisis Legitimasi Politik dalam sejarah Pemerintahan di Aceh,Hal:
88
[6]
Anthony Reid, Asia
Tenggara Dalam Kurun Niaga 1400-1680, Hal: 246-247
[7] Azyumardi
Azra, Renaisans Islam Asia tenggara, Hal: 71
[8]
Abdul rasjid
Dkk, Makassar sebagai kota Maritim, Hal: 1
[9] Anthony Reid, Asia
Tenggara Dalam Kurun Niaga 1400-1680,
Hal: 248
[10] Anthony Reid, Asia
Tenggara Dalam Kurun Niaga 1400-1680, hal: 247
[12]
Drs. Adeng Dkk,
Kota dagang Cirebon sebagai Bandar jalur sutera, Hal: 10
[14]
Anthony Reid, Asia
Tenggara Dalam Kurun Niaga 1400-1680,
hal: 45-47
[16] Anthony Reid, Asia
Tenggara Dalam Kurun Niaga 1400-1680, hal: 31-35
[17]
Anthony Reid, Asia
Tenggara Dalam Kurun Niaga 1400-1680, hal: 110
sama-sama
BalasHapus:)
BalasHapus