Journey: From History to History


Oleh: Mulki Mulyadi
Kata orang bijak, bekerjalah dengan cinta maka kau tidak akan merasa bekerja selamanya. Akan tetapi dalam kenyataannya banyak orang bekerja tidak sesuai dengan keinginan hatinya, banyak mahasiswa mengambil jurusan tidak sesuai dengan apa yang menjadi minatnya. Perjalanan menemukan sebuah “passion” memang tidaklah mudah tapi juga bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Butuh waktu yang lama sebelum menyadari apa yang sebenarnya kita inginkan. Butuh banyak hal-hal baru sebagai pilihan untuk menentukan mana yang kita sukai. Karena itulah seseorang harus terus belajar dan membekali diri sebelum menemukan “passion” yang sesungguhnya.

Tak ada yang kebetulan, yang ada hanya Qadarullah (takdir Allah), begitu pesan seorang penceramah di Masjid ketika bulan puasa tiba. Seperti pula kata para filosof Yunani Amor Fati: Cintailah Nasibmu. Ya, itu memang nasibku dan aku ‘terpaksa’ harus mencintainya. Mencintai nasib juga berarti aku bahagia dengan apa yang kudapatkan hingga saat ini. Maka, kehendak tuhan adalah sebab mengapa aku memilih bidang studi sejarah islam. Bukan terdampar, bukan pula tersesat. Meskipun ketika ingin melanjutkan kuliah, aku sempat kebingungan mengenai jurusan apa yang harus kupilih dari sekian banyak fakultas dan jurusan. Sebenarnya aku tertarik ke ekonomi namun sayangnya dalam ilmu pasti aku payah benar, mau memilih Tarbiah jurusan PAI pun aku juga bingung karena berpikir sudah banyak orang yang mengambil profesi sebagai guru agama. Kemudian aku beralih ke tafsir hadist atau filsafat, namun sayangnya rumor tentang UIN terutama Fakultas Agamanya yang menjadi sarang liberal telah memenuhi kepala sebagian kerabat dan juga orang tuaku sehingga aku harus mencari alternatif lainnya. Nah, saat-saat buntu yang membingungkan itulah aku berketetapan hati mendaftarkan diri ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta lewat jalur SPMB Mandiri dan memilih dua jurusan salah satunya adalah jurusan SKI (pilihan kedua), yah mungkin satunya lagi harus kurahasiakan biar tidak membuat malu, tapi inilah sebuah ketetapan historis yang harus kujalani terlepas dari mengapa dan bagaimana aku menyukai sejarah.
Maka dengan tulisan ini, aku akan berusaha memaparkan sebuah memoir singkat, meskipun tidak dalam satu cerita utuh yang kronologis, tentang bagaimana sejarah hadir dalam perkembangan intelektualitas sebagai bagian dari perjalanan sejarah pribadiku. Tulisan ini akan terbagi menjadi tiga bagian yang semuanya merefleksikan problematika kehidupan kesejarahanku dari awal hingga menjadi sarjana pada jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejarah pada awalnya adalah sebuah puzzle dari bingkai ketertarikanku dalam mendalami seni sastra dan teater. Berawal dari hobbiku yang akut dalam membaca novel-novel dan cerita komik hingga mendapatkan inspirasi dari sebuah buku tipis berjudul Tarikh Islam (Sejarah Islam) imajinasiku tentang sejarah menjadi liar dan menghasilkan sebuah naskah drama kolosal bertema “Al-Fatih”. Sejak saat itu sejarah menjadi bagian samar pengantar tidur di alam bawah sadarku dan juga bagaikan berada di pinggiran lingkaran minatku yang berlimpah yang lambar laun makin tergerus oleh cita-cita keislaman dalam dunia pesantren. Namun setelah kupelajari secara mendalam, sejarah ternyata menawarkan banyak hal yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, hingga akhirnya kisah perjalanan intelektualku bermuara dalam dekapan biografi seorang Ulama-sufi kontroversial, Fethullah Gulen.
Pesantren dan Sejarah
Mari mulai dengan kisah seorang santri yang belajar di sebuah pondok pesantren terpencil di tenggara Sulawesi. Bayangkan saja suasana hutan dengan danau dan bebukitan yang disulap menjadi asrama-asrama santri dan guru yang sambung menyambung layaknya barak-barak militer. Sejuknya udara pegunungan dan hijaunya alam menjadi tempat yang pas untuk bermuhasabah dan Thalabul ilm (menuntut ilmu). Akulah santri yang belajar itu, di pesantren yang baru diresmikan setahun yang lalu, artinya baru dua tahun pesantren ini beroperasi mendidik santri-santri dengan bermodalkan seribu hektar tanah yang terdiri dari bebukitan hijau, sebagian hutan dan juga danau yang luas. Tempat seperti ini sesuai dengan imajinasi kita setelah menonton film-film China. Benar, layaknya kisah para pendekar shaolin yang berlatih di gunung untuk memperdalam jurus dan mengasah jiwa, begitu pula suasana pesantren beserta keseharian para “bikhsu” muda namun bermental Islam ini ditempa dalam suasana harmoni khas pendidikan pesantren yaitu sebuah miniatur masyarakat dengan struktur yang diatur sedemikian rupa untuk menjamin kualitas pendidikan para santri. Disanalah aku, seorang santri muda dan berbadan kecil tinggal jauh dari orang tua, digembleng dalam aturan-aturan baku yang diracik mujarab karena telah mumpuni diuji selama bertahun-tahun, bagaikan obat yang nantinya diharapkan dapat memenuhi dahaga masyarakat akan nilai-nilai keislaman.
Karena pengaruh pesantren yang sangat kuat dalam diriku, aku ingin sedikit memberi penjelasan tentang tempat yang luar biasa ini. Pesantren dalam diskursus keislaman nusantara merupakan sistem pendidikan tertua yang “unik” dibandingkan dengan sistem pendidikan Islam yang lain di seluruh dunia. Bukan hanya tentang budaya yang mengakar kuat dalam sistem pendidikannya selain itu juga adanya tradisi keilmuan Islam dan filosofi yang melatarbelakangi pendiriannya. Bagiku pesantren adalah tempat bersemainya bibit-bibit unggul dalam khazanah pertokohan Indonesia, ia telah terbukti menghasilkan sosok-sosok besar bangsa Indonesia yang telah berjasa demi memajukan negeri tercinta hingga sekarang. Meskipun begitu begitu besar jasa-jasanya, lembaga yang berkah ini tidak jumawa. Suasana kehidupan di pesantren sarat dengan nilai-nilai kesederhanaan dibumbui dengan semangat keikhlasan dan persaudaraan Islam. Selain itu yang menarik minatku tentang sisi kehidupan tradisional pesantren adalah konsep masjid sebagai pusat kegiatannya dan kiai sebagai sentral figurnya. Konsep Masjid-Kiai ini dalam dunia pesantren mempunyai nilai historis yang kuat karena berakar dari sistem budaya dan struktur tradisional masyarakat Jawa serta sangat sesuai dengan doktrinitas ajaran Islam yang mengakulturasi dalam kehidupan masyarakat.
Pesantren bagiku juga tempat menumbuhkan semangat kesejarahan yang mumpuni. Nilai-nilai yang ditanamkan dalam benak para santri sangat sesuai dengan objek kajian sejarah, secara sederhana ingin kupaparkan disini diantaranya adalah konsepsi Islam yang menyatakan bahwa seorang muslim tidak boleh jatuh ke lubang yang sama dua kali. Maka dari itu seorang Muslim seharusnya belajar dari masa lalunya sehingga ia tidak akan mengulangi kesalahannya untuk kesekian kali. Doktrin ini telah berulang kali disampaikan oleh para guru dalam berbagai kesempatan sehingga amat diresapi maknanya oleh para santri. Selain itu perkataaan membahana Bung Karno seperti “Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan-pahlawannya, dan ambilkan aku sepuluh pemuda, akan kugoncangkan dunia” telah bergema dan akrab ditelinga para santri dari mimbar-mimbar kegiatan latihan “Public Speaking” yang seminggu sekali diadakan demi melatih mental berbicara di depan umum.
Selain itu pesantren juga memberikan kesempatan bagi para santri untuk mengekspresikan diri dalam bidang seni, sastra dan budaya namun tetap bernuansa pendidikan. Hal ini diimplementasikan dalam berbagai pagelaran seni semisal seni beladiri, teater, puisi, musik, seni suara, seni lukis dan sastra. Sebab itulah secara tidak langsung pembelajaran sejarah dalam pesantren ditemukan lewat pagelaran seni budaya, senada dengan Dien Majid yang menyatakan bahwa sejarah adalah drama kehidupan yang riil yang ditulis melalui metode ilmiah dan memuat unsur seni yang kental sehingga sejarah tidak hanya menjadi formalitas semata namun juga menarik minat dan menjadi sarana rekreatif bagi yang mempelajarinya.
Karena pesantren menganjurkan pengembangan dalam bidang seni dan budaya, aku pun tak ketinggalan untuk ikut mengekspresikan diri sekaligus mengasah mental. Pementasan yang aku minati diantaranya adalah puisi dan seni teater, meskipun dalam hal akting penampilanku belum begitu baik, namun aku dapat membuat naskah drama untuk dipentaskan. Inilah awal interaksiku dengan sejarah Islam. Memang dari dulu nilaiku dalam pelajaran sejarah selalu tinggi, tentunya karena keseringan membaca novel maupun buku yang berbau sejarah sehingga aku selalu antusias dalam hal ini. Suatu ketika seorang teman yang juga kepala asrama memintaku untuk membantunya dalam membuat naskah drama kolosal karena ia bingung menentukan tema seperti apa yang akan ia tampilkan untuk pementasan bertajuk “Drama Arena” yang akan dilombakan antar asrama. Aku menyanggupi dan segera membuat draft naskah dan mencari tema apa yang sekiranya menarik untuk ditampilkan. Kebetulan hari itu bertepatan dengan jam pelajaran Sejarah Islam yang juga kebetulan berjudul “Fath Konstantiniyah” (Pembukaan Kota Konstantinopel).
Setelah mendengarkan uraian ustadz mengenai sejarah penaklukkan Konstantinopel yang menempel ketat dalam benakku, aku putuskan untuk mengambil tema itu untuk naskahku. Segera saja imajinasiku melanglang buana menuju zaman kejayaan dinasti Ottoman dan seakan ikut menyaksikan peristiwa heroik itu lalu kemudian menuangkannya ke dalam sebuah naskah dialogis. Penulisan naskah ini kemudian dialih bahasakan dengan bantuan seorang teman ke dalam bahasa Arab. Penulisan ini berjalan lancar dan kemudian sembari menyempurnakan naskah, tim asrama kami harus berlatih siang malam untuk menampilkan sebuah drama yang menarik dan mendebarkan. Alhasil sebuah drama kolosal berbahasa Arab bertema “Al-Fatih” dengan akting yang apik hasil latihan keras berminggu-minggu lengkap dengan kostum perang Romawi dari kardus bekas yang ditempali kertas berwarna mengkilap serta adegan perang yang heroik disertai dentuman bertubi-tubi “meriam bambu” buatan sendiri, drama ini sukses besar memukau tim juri dengan menyabet peringkat kedua. Walaupun peringkat kedua, prestasi ini tidak dapat diremehkan karena dibintangi oleh santri-santri baru yang notabene ‘baru masuk’ dan juga tidak menguasai Bahasa Arab dengan bagus namun mereka tetap gigih sehingga harapan kami akan kemenangan menjadi kenyataan.
Kesuksesanku dengan naskah “Al-Fatih” dalam pentas drama telah melecut semangatku dalam membaca berbagai literatur sejarah khususnya biografi tokoh. Ternyata sejarah memiliki daya tarik tersendiri meskipun tentunya belum menjadi sebuah minat untuk ditekuni apalagi sebagai pilihan untuk melanjutkan ke jenjang universitas. Sejarah ketika itu masih kupandang sebatas bahan bacaan yang menarik. Kesimpulan dari bagian ini kurasa singkat saja bahwa pesantren adalah tempatku mendapatkan inspirasi mengenai sejarah khususnya sejarah Islam. Inspirasi ini tidak akan kulupakan sampai kapanpun juga sebabnya adalah pendidikan yang ada di dalamnya sadar maupun tidak telah menempa diriku sehingga ketika takdir untuk mendalami Ilmu Sejarah di bangku perkuliahan itu datang, aku sudah siap menyambutnya dengan tangan terbuka.
Belajar-Kerja vs Belajar-Pintar
Belajar pada masa kini selalu dikonotasikan dengan pekerjaan. Maknanya, tujuan dari belajar adalah bekerja, jadilah orang beramai-ramai mencari bidang studi yang dirasakan dapat menjamin karirnya di masa depan. Akhirnya orang tidak lagi berfokus pada belajar-nya namun kepada pekerjaan-nya sehingga ia jadi kurang belajar. Misalnya, karena takut gagal dan takut menjadi pengangguran seorang siswa jurusan Teknik rela masuk jurusan Kedokteran yang berbiaya mahal meskipun tidak sesuai dengan hati nurani beserta minatnya.
Ketika akhirnya dengan “terpaksa” aku mengambil jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, banyak yang pesimis mengenai jurusan yang kupilih terutama dari pihak keluarga. Banyak pertanyaan seperti nanti mau jadi apa, kerja dimana dan sebagainya. Tentu saja aku sulit untuk menjawab, karena memang tidak ada pekerjaan baku bagi seorang sarjana sejarah. Sehingga pada suatu ketika, ayahku berkata kepadaku, “Boleh saja kamu mengambil jurusan sejarah, karena belajar itu bukan hanya untuk bekerja tapi belajar itu untuk menjadi orang pintar”. Saat itu aku tercengang dan menyadari bahwa memang tidak banyak orang yang berpikir seperti ayahku ini yang menjadikan proses belajar sebagai alat pencerahan bukan alat perbudakan (kerja). Sehingga aku pun setuju bahwa ketika seseorang menjadi pintar, pola pikirnya akan berubah sehingga pekerjaan apapun akan menjadi mudah. Percuma saja belajar di jurusan yang prestisius semacam Kedokteran atau Sains jika minatnya cenderung kepada pertanian, sangat tidak nyambung. Pada akhirnya pun batinnya akan tersiksa sehingga profesi yang digelutinya menjadi tidak maksimal.
Karena nasehat dari ayahku itulah aku mantap untuk terus maju serta tidak menghiraukan apa kata orang lain tentang jurusan sejarah. Meminjam teori fatum dari para filosof yunani, bagiku sejarah adalah suatu jalan yang telah ditakdirkan untukku. Fatum adalah nasib yang telah digariskan pada diri manusia, sehingga seyogyanya seseorang bersikap nrimo (Bahasa Jawa: menerima) dengan apa yang digariskan oleh Tuhan. Bagiku perjuangan menuju perubahan kuncinya adalah bersikap nrimo terhadap kenyataan yang sedang dihadapi namun juga tidak menyerah dengan keadaan sembari terus berjuang untuk terus menjadi lebih baik lagi di masa depan.
Pada akhirnya, ketika orang lain mencari jurusan dan belajar untuk mendapatkan pekerjaan, aku sendiri meniatkan diri belajar hanya untuk Thalabul ilm, meskipun banyak orang yang menganggap rendah pilihan yang kubuat tapi aku berniat tidak akan menyerah apapun yang akan terjadi nantinya. Bukankah ilmu sejarah mengajarkan kita agar selalu memetik hikmah dari semua peristiwa.
Islamisme dan Sejarawan Muslim
Berbicara masalah ideologi dan pemikiran, tidak dapat disangkal lagi bahwa pergulatan intelektual seorang mahasiswa tidak hanya terbatas saat di lingkungan kampus semata, semua pengalaman yang di dapatkan dari hasil pengamatan dan penarikan kesimpulan dari peristiwa yang terjadi sehari-hari juga turut mempengaruhi kondisi intelektual seorang mahasiswa. Idealisme yang diusung bisa jadi juga akan berubah-ubah seiring dengan semakin intensnya interaksi pada buku, dosen, bahkan senior. Faktor eksternal juga menjadi penentu seorang mahasiswa dalam menemukan bidang pemikiran yang akan digelutinya.
Dalam kasus mahasiswa seperti diriku, bergaul dengan civitas kampus pada masa awal kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tidak begitu intens, hal itu karena aku pada awalnya adalah mahasiswa kupu-kula (Kuliah-Pulang-Kuliah-Lagi). Maksudnya adalah aku nyambi kursus bahasa Arab di salah satu institusi pendidikan di Jakarta Timur hampir selama satu semester, sehingga apa yang kupelajari begitu juga dengan ideologi yang kugeluti amat sangat berbeda dibandingkan dengan apa yang kutemukan di UIN. Hal itu mempengaruhi minatku selama beberapa waktu sehingga aku menyimpulkan bahwa aku sedang keranjingan doktrin yang bernama Islamisme.
Islamisme adalah sebuah ideologi, pola pikir, dan -dalam beberapa doktrin- jalan hidup. Inti dari Islamisme adalah Islam harus menjadi pedoman hidup bagi segala segi kehidupan manusia. Meskipun begitu, banyak pula tafsirannya dan menghasilkan banyak sekali kelompok-kelompok yang mengklaim memiliki semangat Islamisme. Bukan sok alim, tapi memang setiap mahasiswa memiliki cara pandang yang berbeda dan tahu apa yang terbaik bagi dirinya, bagiku Islamisme sama seperti kita membaca takbir pada shalat, membaca bismillah saat makan, mengucap hamdalah sehabis makan. Penting bukan!, ya menurutku penting sekali.
Nah, dalam kaitannya dengan dunia pesantren, Islamisme selalu dipasangkan dengan Islamisasi, oleh karena itu ada sebuah falsafah Arab terkenal yang sering diungkapkan oleh Kiai kami yaitu “Fi Ayii Ardin Tatho’ Faanta Mas’ulun an Islamiha” yang kira-kira berarti di bumi mana saja tempatmu berpijak maka kamu harus bertanggung jawab atas “Islamisasi” nya. Semangat ini yang tertanam dalam benakku ketika berkutat dengan buku-buku serta kajian-kajian Islam sehingga ketika aku masuk dalam ranah sejarah, pikiran ini masih hadir dan mengambil momentumnya dalam setiap kesempatan diskusi dan presentasi. Ada yang suka dan ada yang tidak suka, begitulah resiko dari sebuah pemikiran.
Kemudian suatu ketika aku merenungkan bagaimanakah seharusnya seorang sejarawan muslim khususnya mahasiswa calon sarjana sejarah seperti aku dalam menuangkan gagasan-gagasan “Islamisme” versiku sendiri ke dalam tulisan-tulisan sejarah. Menurutku, sudah sepatutnya sejarawan muslim berbeda dengan sejarawan lainnya dalam metodologi dan konsep serta gagasan. Karena itu kusimpulkan bahwa historiografi sejarah haruslah menjadi sarana dakwah yang tentunya masih sesuai dengan koridor kajian ilmiah.
Dari sini, aku tertarik untuk menulis tentang biografi ulama Islam karena menurutku masyarakat membutuhkan sosok-sosok teladan yang historis selain Nabi dan para Sahabatnya. Maka, masyarakat Islam harus pula mengetahui sosok-sosok teladan (ulama) yang belum banyak diketahui namun bisa dijangkau sejarah, dapat dikritik, tidak mistis, dan tidak dianggap sakral. Di sini gagasanku seperti mendapat angin segar setelah membaca buku karya Rachmad Abdullah yang berjudul Walisongo: Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa yang menyajikan wali songo sebagai History as Written yaitu sejarah sebagai tulisan, bukan legenda dan bukan pula mitos yang berkembang di masyarakat. Sehingga, setelah mengalami pasang surut pencarian tema bagi skripsiku untuk mendapatkan gelar Sarjana Humaniora, aku memutuskan mengambil tema dakwah ulama Turki yang saat ini tengah kontroversial di dunia Islam yaitu Fethullah Gulen.
Fethullah Gulen kurasa cocok menjadi tema skripsiku selain karena telah lama mempelajari gagasan-gagasan spiritualnya dari buku-buku yang ia tulis, aku juga tertarik dengan konsep pergerakannya yang Islamis namun humanis serta menjunjung tinggi nilai-nilai dan sistem Demokrasi. Aku juga tertarik dengan konsepnya tentang tatanan dunia baru yang mengambil peradaban dari Islam dan menekankan sosok “Muslim Sejati” sebagai konduktor bagi nilai-nilai peradaban manusia modern dan karenanya setiap muslim harus berusaha keras menjadi sosok yang bertanggung jawab dalam masyarakatnya sekaligus mentransformasikan dirinya sebagai kaca bening yang merefleksikan perilaku Nabi dan para Sahabat sehingga lingkungan sekitarnya bahkan dunia dapat melihat dan merasakan manfaatnya.
Akhirnya sebagai penutup tulisan ini aku ingin mengatakan bahwa perjalanan intelektual sejarah tidak boleh berhenti hanya karena lulus, wisuda dan kerja. Karena kita belum dan masih jauh dari yang namanya “pintar” sehingga belajar adalah suatu keniscayaan sejarah yang tidak boleh disejarahkan atau dimuseumkan namun harus dipentaskan sebagai kontribusi kita dalam dunia akademis yang membutuhkan tidak hanya sekadar karya tapi juga Mahakarya. Wallahu a’lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Het Landbezit der Chinezen in Nederlandsch-Indie (Javabode 1858)

Sajak Budaya: Arung Pelaut, Jaya Selalu

Ekonomi dan perniagaan di Asia tenggara abad ke 15-17 M