Journey: From History to History
Kata
orang bijak, bekerjalah dengan cinta maka kau tidak akan merasa bekerja
selamanya. Akan tetapi dalam kenyataannya banyak orang bekerja tidak sesuai
dengan keinginan hatinya, banyak mahasiswa mengambil jurusan tidak sesuai
dengan apa yang menjadi minatnya. Perjalanan menemukan sebuah “passion” memang
tidaklah mudah tapi juga bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Butuh
waktu yang lama sebelum menyadari apa yang sebenarnya kita inginkan. Butuh
banyak hal-hal baru sebagai pilihan untuk menentukan mana yang kita sukai.
Karena itulah seseorang harus terus belajar dan membekali diri sebelum
menemukan “passion” yang sesungguhnya.
Tak
ada yang kebetulan, yang ada hanya Qadarullah (takdir Allah), begitu pesan
seorang penceramah di Masjid ketika bulan puasa tiba. Seperti pula kata para filosof
Yunani Amor Fati: Cintailah Nasibmu. Ya, itu memang nasibku dan aku ‘terpaksa’
harus mencintainya. Mencintai nasib juga berarti aku bahagia dengan apa yang
kudapatkan hingga saat ini. Maka, kehendak tuhan adalah sebab mengapa aku
memilih bidang studi sejarah islam. Bukan terdampar, bukan pula tersesat.
Meskipun ketika ingin melanjutkan kuliah, aku sempat kebingungan mengenai
jurusan apa yang harus kupilih dari sekian banyak fakultas dan jurusan. Sebenarnya
aku tertarik ke ekonomi namun sayangnya dalam ilmu pasti aku payah benar, mau
memilih Tarbiah jurusan PAI pun aku juga bingung karena berpikir sudah banyak
orang yang mengambil profesi sebagai guru agama. Kemudian aku beralih ke tafsir
hadist atau filsafat, namun sayangnya rumor tentang UIN terutama Fakultas
Agamanya yang menjadi sarang liberal telah memenuhi kepala sebagian kerabat dan
juga orang tuaku sehingga aku harus mencari alternatif lainnya. Nah, saat-saat
buntu yang membingungkan itulah aku berketetapan hati mendaftarkan diri ke UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta lewat jalur SPMB Mandiri dan memilih dua jurusan
salah satunya adalah jurusan SKI (pilihan kedua), yah mungkin satunya lagi
harus kurahasiakan biar tidak membuat malu, tapi inilah sebuah ketetapan
historis yang harus kujalani terlepas dari mengapa dan bagaimana aku menyukai
sejarah.
Maka
dengan tulisan ini, aku akan berusaha memaparkan sebuah memoir singkat,
meskipun tidak dalam satu cerita utuh yang kronologis, tentang bagaimana
sejarah hadir dalam perkembangan intelektualitas sebagai bagian dari perjalanan
sejarah pribadiku. Tulisan ini akan terbagi menjadi tiga bagian yang semuanya
merefleksikan problematika kehidupan kesejarahanku dari awal hingga menjadi
sarjana pada jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Sejarah pada awalnya adalah sebuah puzzle dari bingkai ketertarikanku
dalam mendalami seni sastra dan teater. Berawal dari hobbiku yang akut dalam
membaca novel-novel dan cerita komik hingga mendapatkan inspirasi dari sebuah
buku tipis berjudul Tarikh Islam (Sejarah Islam) imajinasiku tentang sejarah
menjadi liar dan menghasilkan sebuah naskah drama kolosal bertema “Al-Fatih”.
Sejak saat itu sejarah menjadi bagian samar pengantar tidur di alam bawah
sadarku dan juga bagaikan berada di pinggiran lingkaran minatku yang berlimpah
yang lambar laun makin tergerus oleh cita-cita keislaman dalam dunia pesantren.
Namun setelah kupelajari secara mendalam, sejarah ternyata menawarkan banyak
hal yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, hingga akhirnya kisah perjalanan
intelektualku bermuara dalam dekapan biografi seorang Ulama-sufi kontroversial,
Fethullah Gulen.
Pesantren
dan Sejarah
Mari
mulai dengan kisah seorang santri yang belajar di sebuah pondok pesantren
terpencil di tenggara Sulawesi. Bayangkan saja suasana hutan dengan danau dan
bebukitan yang disulap menjadi asrama-asrama santri dan guru yang sambung
menyambung layaknya barak-barak militer. Sejuknya udara pegunungan dan hijaunya
alam menjadi tempat yang pas untuk bermuhasabah dan Thalabul ilm
(menuntut ilmu). Akulah santri yang belajar itu, di pesantren yang baru
diresmikan setahun yang lalu, artinya baru dua tahun pesantren ini beroperasi
mendidik santri-santri dengan bermodalkan seribu hektar tanah yang terdiri dari
bebukitan hijau, sebagian hutan dan juga danau yang luas. Tempat seperti ini sesuai
dengan imajinasi kita setelah menonton film-film China. Benar, layaknya kisah
para pendekar shaolin yang berlatih di gunung untuk memperdalam jurus dan
mengasah jiwa, begitu pula suasana pesantren beserta keseharian para “bikhsu”
muda namun bermental Islam ini ditempa dalam suasana harmoni khas pendidikan
pesantren yaitu sebuah miniatur masyarakat dengan struktur yang diatur sedemikian
rupa untuk menjamin kualitas pendidikan para santri. Disanalah aku, seorang
santri muda dan berbadan kecil tinggal jauh dari orang tua, digembleng dalam
aturan-aturan baku yang diracik mujarab karena telah mumpuni diuji selama bertahun-tahun,
bagaikan obat yang nantinya diharapkan dapat memenuhi dahaga masyarakat akan
nilai-nilai keislaman.
Karena
pengaruh pesantren yang sangat kuat dalam diriku, aku ingin sedikit memberi penjelasan
tentang tempat yang luar biasa ini. Pesantren dalam diskursus keislaman
nusantara merupakan sistem pendidikan tertua yang “unik” dibandingkan dengan
sistem pendidikan Islam yang lain di seluruh dunia. Bukan hanya tentang budaya
yang mengakar kuat dalam sistem pendidikannya selain itu juga adanya tradisi
keilmuan Islam dan filosofi yang melatarbelakangi pendiriannya. Bagiku
pesantren adalah tempat bersemainya bibit-bibit unggul dalam khazanah
pertokohan Indonesia, ia telah terbukti menghasilkan sosok-sosok besar bangsa
Indonesia yang telah berjasa demi memajukan negeri tercinta hingga sekarang. Meskipun
begitu begitu besar jasa-jasanya, lembaga yang berkah ini tidak jumawa. Suasana
kehidupan di pesantren sarat dengan nilai-nilai kesederhanaan dibumbui dengan
semangat keikhlasan dan persaudaraan Islam. Selain itu yang menarik minatku
tentang sisi kehidupan tradisional pesantren adalah konsep masjid sebagai pusat
kegiatannya dan kiai sebagai sentral figurnya. Konsep Masjid-Kiai ini dalam
dunia pesantren mempunyai nilai historis yang kuat karena berakar dari sistem
budaya dan struktur tradisional masyarakat Jawa serta sangat sesuai dengan
doktrinitas ajaran Islam yang mengakulturasi dalam kehidupan masyarakat.
Pesantren
bagiku juga tempat menumbuhkan semangat kesejarahan yang mumpuni. Nilai-nilai
yang ditanamkan dalam benak para santri sangat sesuai dengan objek kajian
sejarah, secara sederhana ingin kupaparkan disini diantaranya adalah konsepsi
Islam yang menyatakan bahwa seorang muslim tidak boleh jatuh ke lubang yang
sama dua kali. Maka dari itu seorang Muslim seharusnya belajar dari masa lalunya
sehingga ia tidak akan mengulangi kesalahannya untuk kesekian kali. Doktrin ini
telah berulang kali disampaikan oleh para guru dalam berbagai kesempatan
sehingga amat diresapi maknanya oleh para santri. Selain itu perkataaan
membahana Bung Karno seperti “Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah,
bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan-pahlawannya,
dan ambilkan aku sepuluh pemuda, akan kugoncangkan dunia” telah bergema dan
akrab ditelinga para santri dari mimbar-mimbar kegiatan latihan “Public Speaking”
yang seminggu sekali diadakan demi melatih mental berbicara di depan umum.
Selain
itu pesantren juga memberikan kesempatan bagi para santri untuk mengekspresikan
diri dalam bidang seni, sastra dan budaya namun tetap bernuansa pendidikan. Hal
ini diimplementasikan dalam berbagai pagelaran seni semisal seni beladiri,
teater, puisi, musik, seni suara, seni lukis dan sastra. Sebab itulah secara
tidak langsung pembelajaran sejarah dalam pesantren ditemukan lewat pagelaran
seni budaya, senada dengan Dien Majid yang menyatakan bahwa sejarah adalah
drama kehidupan yang riil yang ditulis melalui metode ilmiah dan memuat unsur
seni yang kental sehingga sejarah tidak hanya menjadi formalitas semata namun
juga menarik minat dan menjadi sarana rekreatif bagi yang mempelajarinya.
Karena
pesantren menganjurkan pengembangan dalam bidang seni dan budaya, aku pun tak
ketinggalan untuk ikut mengekspresikan diri sekaligus mengasah mental.
Pementasan yang aku minati diantaranya adalah puisi dan seni teater, meskipun
dalam hal akting penampilanku belum begitu baik, namun aku dapat membuat naskah
drama untuk dipentaskan. Inilah awal interaksiku dengan sejarah Islam. Memang
dari dulu nilaiku dalam pelajaran sejarah selalu tinggi, tentunya karena
keseringan membaca novel maupun buku yang berbau sejarah sehingga aku selalu
antusias dalam hal ini. Suatu ketika seorang teman yang juga kepala asrama
memintaku untuk membantunya dalam membuat naskah drama kolosal karena ia
bingung menentukan tema seperti apa yang akan ia tampilkan untuk pementasan
bertajuk “Drama Arena” yang akan dilombakan antar asrama. Aku menyanggupi dan
segera membuat draft naskah dan mencari tema apa yang sekiranya menarik untuk
ditampilkan. Kebetulan hari itu bertepatan dengan jam pelajaran Sejarah Islam
yang juga kebetulan berjudul “Fath Konstantiniyah” (Pembukaan Kota
Konstantinopel).
Setelah
mendengarkan uraian ustadz mengenai sejarah penaklukkan Konstantinopel yang
menempel ketat dalam benakku, aku putuskan untuk mengambil tema itu untuk naskahku.
Segera saja imajinasiku melanglang buana menuju zaman kejayaan dinasti Ottoman
dan seakan ikut menyaksikan peristiwa heroik itu lalu kemudian menuangkannya ke
dalam sebuah naskah dialogis. Penulisan naskah ini kemudian dialih bahasakan
dengan bantuan seorang teman ke dalam bahasa Arab. Penulisan ini berjalan
lancar dan kemudian sembari menyempurnakan naskah, tim asrama kami harus
berlatih siang malam untuk menampilkan sebuah drama yang menarik dan
mendebarkan. Alhasil sebuah drama kolosal berbahasa Arab bertema “Al-Fatih” dengan
akting yang apik hasil latihan keras berminggu-minggu lengkap dengan kostum
perang Romawi dari kardus bekas yang ditempali kertas berwarna mengkilap serta adegan
perang yang heroik disertai dentuman bertubi-tubi “meriam bambu” buatan sendiri,
drama ini sukses besar memukau tim juri dengan menyabet peringkat kedua. Walaupun
peringkat kedua, prestasi ini tidak dapat diremehkan karena dibintangi oleh
santri-santri baru yang notabene ‘baru masuk’ dan juga tidak menguasai Bahasa Arab
dengan bagus namun mereka tetap gigih sehingga harapan kami akan kemenangan
menjadi kenyataan.
Kesuksesanku
dengan naskah “Al-Fatih” dalam pentas drama telah melecut semangatku dalam
membaca berbagai literatur sejarah khususnya biografi tokoh. Ternyata sejarah
memiliki daya tarik tersendiri meskipun tentunya belum menjadi sebuah minat
untuk ditekuni apalagi sebagai pilihan untuk melanjutkan ke jenjang
universitas. Sejarah ketika itu masih kupandang sebatas bahan bacaan yang
menarik. Kesimpulan dari bagian ini kurasa singkat saja bahwa pesantren adalah
tempatku mendapatkan inspirasi mengenai sejarah khususnya sejarah Islam.
Inspirasi ini tidak akan kulupakan sampai kapanpun juga sebabnya adalah
pendidikan yang ada di dalamnya sadar maupun tidak telah menempa diriku
sehingga ketika takdir untuk mendalami Ilmu Sejarah di bangku perkuliahan itu
datang, aku sudah siap menyambutnya dengan tangan terbuka.
Belajar-Kerja
vs Belajar-Pintar
Belajar
pada masa kini selalu dikonotasikan dengan pekerjaan. Maknanya, tujuan dari
belajar adalah bekerja, jadilah orang beramai-ramai mencari bidang studi yang
dirasakan dapat menjamin karirnya di masa depan. Akhirnya orang tidak lagi
berfokus pada belajar-nya namun kepada pekerjaan-nya sehingga ia jadi kurang
belajar. Misalnya, karena takut gagal dan takut menjadi pengangguran seorang
siswa jurusan Teknik rela masuk jurusan Kedokteran yang berbiaya mahal meskipun
tidak sesuai dengan hati nurani beserta minatnya.
Ketika
akhirnya dengan “terpaksa” aku mengambil jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam,
banyak yang pesimis mengenai jurusan yang kupilih terutama dari pihak keluarga.
Banyak pertanyaan seperti nanti mau jadi apa, kerja dimana dan sebagainya.
Tentu saja aku sulit untuk menjawab, karena memang tidak ada pekerjaan baku
bagi seorang sarjana sejarah. Sehingga pada suatu ketika, ayahku berkata
kepadaku, “Boleh saja kamu mengambil jurusan sejarah, karena belajar itu bukan
hanya untuk bekerja tapi belajar itu untuk menjadi orang pintar”. Saat itu aku
tercengang dan menyadari bahwa memang tidak banyak orang yang berpikir seperti
ayahku ini yang menjadikan proses belajar sebagai alat pencerahan bukan alat
perbudakan (kerja). Sehingga aku pun setuju bahwa ketika seseorang menjadi
pintar, pola pikirnya akan berubah sehingga pekerjaan apapun akan menjadi
mudah. Percuma saja belajar di jurusan yang prestisius semacam Kedokteran atau
Sains jika minatnya cenderung kepada pertanian, sangat tidak nyambung. Pada
akhirnya pun batinnya akan tersiksa sehingga profesi yang digelutinya menjadi
tidak maksimal.
Karena
nasehat dari ayahku itulah aku mantap untuk terus maju serta tidak menghiraukan
apa kata orang lain tentang jurusan sejarah. Meminjam teori fatum dari
para filosof yunani, bagiku sejarah adalah suatu jalan yang telah ditakdirkan
untukku. Fatum adalah nasib yang telah digariskan pada diri manusia,
sehingga seyogyanya seseorang bersikap nrimo (Bahasa Jawa: menerima) dengan
apa yang digariskan oleh Tuhan. Bagiku perjuangan menuju perubahan kuncinya
adalah bersikap nrimo terhadap kenyataan yang sedang dihadapi namun juga
tidak menyerah dengan keadaan sembari terus berjuang untuk terus menjadi lebih
baik lagi di masa depan.
Pada
akhirnya, ketika orang lain mencari jurusan dan belajar untuk mendapatkan
pekerjaan, aku sendiri meniatkan diri belajar hanya untuk Thalabul ilm,
meskipun banyak orang yang menganggap rendah pilihan yang kubuat tapi aku
berniat tidak akan menyerah apapun yang akan terjadi nantinya. Bukankah ilmu
sejarah mengajarkan kita agar selalu memetik hikmah dari semua peristiwa.
Islamisme
dan Sejarawan Muslim
Berbicara
masalah ideologi dan pemikiran, tidak dapat disangkal lagi bahwa pergulatan
intelektual seorang mahasiswa tidak hanya terbatas saat di lingkungan kampus
semata, semua pengalaman yang di dapatkan dari hasil pengamatan dan penarikan
kesimpulan dari peristiwa yang terjadi sehari-hari juga turut mempengaruhi
kondisi intelektual seorang mahasiswa. Idealisme yang diusung bisa jadi juga
akan berubah-ubah seiring dengan semakin intensnya interaksi pada buku, dosen,
bahkan senior. Faktor eksternal juga menjadi penentu seorang mahasiswa dalam
menemukan bidang pemikiran yang akan digelutinya.
Dalam
kasus mahasiswa seperti diriku, bergaul dengan civitas kampus pada masa awal
kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tidak begitu intens, hal itu karena
aku pada awalnya adalah mahasiswa kupu-kula (Kuliah-Pulang-Kuliah-Lagi).
Maksudnya adalah aku nyambi kursus bahasa Arab di salah satu institusi
pendidikan di Jakarta Timur hampir selama satu semester, sehingga apa yang
kupelajari begitu juga dengan ideologi yang kugeluti amat sangat berbeda
dibandingkan dengan apa yang kutemukan di UIN. Hal itu mempengaruhi minatku
selama beberapa waktu sehingga aku menyimpulkan bahwa aku sedang keranjingan
doktrin yang bernama Islamisme.
Islamisme
adalah sebuah ideologi, pola pikir, dan -dalam beberapa doktrin- jalan hidup.
Inti dari Islamisme adalah Islam harus menjadi pedoman hidup bagi segala segi
kehidupan manusia. Meskipun begitu, banyak pula tafsirannya dan menghasilkan
banyak sekali kelompok-kelompok yang mengklaim memiliki semangat Islamisme.
Bukan sok alim, tapi memang setiap mahasiswa memiliki cara pandang yang berbeda
dan tahu apa yang terbaik bagi dirinya, bagiku Islamisme sama seperti kita
membaca takbir pada shalat, membaca bismillah saat makan, mengucap hamdalah
sehabis makan. Penting bukan!, ya menurutku penting sekali.
Nah,
dalam kaitannya dengan dunia pesantren, Islamisme selalu dipasangkan dengan
Islamisasi, oleh karena itu ada sebuah falsafah Arab terkenal yang sering
diungkapkan oleh Kiai kami yaitu “Fi Ayii Ardin Tatho’ Faanta Mas’ulun an
Islamiha” yang kira-kira berarti di bumi mana saja tempatmu berpijak maka
kamu harus bertanggung jawab atas “Islamisasi” nya. Semangat ini yang tertanam
dalam benakku ketika berkutat dengan buku-buku serta kajian-kajian Islam
sehingga ketika aku masuk dalam ranah sejarah, pikiran ini masih hadir dan
mengambil momentumnya dalam setiap kesempatan diskusi dan presentasi. Ada yang
suka dan ada yang tidak suka, begitulah resiko dari sebuah pemikiran.
Kemudian
suatu ketika aku merenungkan bagaimanakah seharusnya seorang sejarawan muslim
khususnya mahasiswa calon sarjana sejarah seperti aku dalam menuangkan
gagasan-gagasan “Islamisme” versiku sendiri ke dalam tulisan-tulisan sejarah.
Menurutku, sudah sepatutnya sejarawan muslim berbeda dengan sejarawan lainnya
dalam metodologi dan konsep serta gagasan. Karena itu kusimpulkan bahwa
historiografi sejarah haruslah menjadi sarana dakwah yang tentunya masih sesuai
dengan koridor kajian ilmiah.
Dari
sini, aku tertarik untuk menulis tentang biografi ulama Islam karena menurutku
masyarakat membutuhkan sosok-sosok teladan yang historis selain Nabi dan para
Sahabatnya. Maka, masyarakat Islam harus pula mengetahui sosok-sosok teladan
(ulama) yang belum banyak diketahui namun bisa dijangkau sejarah, dapat
dikritik, tidak mistis, dan tidak dianggap sakral. Di sini gagasanku seperti
mendapat angin segar setelah membaca buku karya Rachmad Abdullah yang berjudul
Walisongo: Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa yang menyajikan wali songo
sebagai History as Written yaitu sejarah sebagai tulisan, bukan legenda
dan bukan pula mitos yang berkembang di masyarakat. Sehingga, setelah mengalami
pasang surut pencarian tema bagi skripsiku untuk mendapatkan gelar Sarjana
Humaniora, aku memutuskan mengambil tema dakwah ulama Turki yang saat ini
tengah kontroversial di dunia Islam yaitu Fethullah Gulen.
Fethullah
Gulen kurasa cocok menjadi tema skripsiku selain karena telah lama mempelajari
gagasan-gagasan spiritualnya dari buku-buku yang ia tulis, aku juga tertarik
dengan konsep pergerakannya yang Islamis namun humanis serta menjunjung tinggi
nilai-nilai dan sistem Demokrasi. Aku juga tertarik dengan konsepnya tentang
tatanan dunia baru yang mengambil peradaban dari Islam dan menekankan sosok
“Muslim Sejati” sebagai konduktor bagi nilai-nilai peradaban manusia modern dan
karenanya setiap muslim harus berusaha keras menjadi sosok yang bertanggung
jawab dalam masyarakatnya sekaligus mentransformasikan dirinya sebagai kaca
bening yang merefleksikan perilaku Nabi dan para Sahabat sehingga lingkungan
sekitarnya bahkan dunia dapat melihat dan merasakan manfaatnya.
Akhirnya
sebagai penutup tulisan ini aku ingin mengatakan bahwa perjalanan intelektual
sejarah tidak boleh berhenti hanya karena lulus, wisuda dan kerja. Karena kita
belum dan masih jauh dari yang namanya “pintar” sehingga belajar adalah suatu
keniscayaan sejarah yang tidak boleh disejarahkan atau dimuseumkan namun harus
dipentaskan sebagai kontribusi kita dalam dunia akademis yang membutuhkan tidak
hanya sekadar karya tapi juga Mahakarya. Wallahu a’lam
Komentar
Posting Komentar