Kronik Partikelir





Oleh: Mulki Mulyadi
 
Pagi sekali tuan itu bertandang ke sawah.
Tengok sana suruh sini banyak bawahannya.
Para petani yang memanggul gabah dan mencacah rumput.
Menarik kerbau bajak petak yang siap tanam.
Hari itu sekali sepekan petani bekerja pada sang tuan.
Konon ia yang punya seluruh desa ini,
Serta dua desa lain di sisi utara sana.

Bagai anak bawang aku hanya melihat saja.
Ayah bundaku yang mengangkat gabah kadang panenan tebu.
Desaku penghasil padi dan tebu.
Tapi gula putih itu tak pernah kucicipi.
Lihat bayangannya pun hampir tak sanggup.
Hanya pernah sekali dua kali menggigit batang tebu itu.
Setidaknya rasanya aku sudah tahu.

Tanah ini aku tak paham bagaimana.
Bukannya semua tanah ini dulu punya nenek moyangku.
Mengapa tuan itu yang ambil untungnya.
Belakangan aku sadar, ini wilayah particuliere.
Wilayah dimana tuan-tuan tanah itu berkuasa.
Membeli tanah sekaligus desa-desanya.

Yang jual tanah kami itu tuan-tuan londo dari seberang itu.
Mereka datang dan tak mahu lagi pergi.
Tergiur tanah hijau, sawah dan ladang kami.
                     
Rumahku dekat dengan penyimpanah gabah.
Kami hanya dapat sisa-sisa gabah jika gabah dijual.
Kami ambil yang bersisa lalu dimasak.
Orang-orang tak melarang, sama pailitnya.
Dua hari wajib kerja di sawah milik tuan.
Sisanya di ladang milik kami.
Sayur-mayur juga kami tanam, tapi jualnya murah.
Miskin kami, zaman ini susah.
Aku hanya bisa baca huruf pegon.
Diajarkan ajengan dari tanah priangan itu.

Sesekali juga ada habib yang berkunjung.
Tapi lama aku tak lihat beliau lagi.
Ah, ini tahun berapa aku juga tak mengerti.
Penanggalan jawa dan londo saling tindih.

Bagaimana nasib raja jawa, kami ini orang jawa.
Tapi tanah ini punya tuan tanah.
Raja kami ya tuan itu, kehendaknya kehendak kami.
Aturannya juga jadi aturan kami.
Kepala kampung pun dia yang ganti.
Mandor sebutannya, kali tak lagi miliki apapun.

Tak lebih daripada budak saja kami ini.
Eh, tapi tadi ada orang cina lewat naik sepeda.
Tanya-tanya tentang daerah sini. Logatnya kaku.
Nama sebenarnya Nishimura, tapi dia bilang jangan ribut.
Panggil saja tuan A Feng. Kami diberi permen manis.
Mungkin dari gula putih itu.

Tuan A feng melaju, sepedanya berliuk-liuk.
Itu terakhir kali aku dan teman-teman melihat tuan A feng
Sampai bertahun-tahun kemudian
Ia datang dengan seragam tentara.
Aku masih ingat wajahnya. Ia juga masih ingat aku.
Keadaan berubah.
Tuan tanah kami menghilang dari rumahnya.
Pesawat-pesawat lalu lalang diatas desa.
Tuan-tuan londo tak pernah kulihat lagi.
Kemudian aku mengerti.
Tuan A feng bukan orang cina, ia Nishimura.
Seorang pasukan Dai Nippon.

Aku sih gembira, bapak ibuku tak lagi bekerja keras.
Tapi kulihat perang dimana-mana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Het Landbezit der Chinezen in Nederlandsch-Indie (Javabode 1858)

Sajak Budaya: Arung Pelaut, Jaya Selalu

Ekonomi dan perniagaan di Asia tenggara abad ke 15-17 M