Opini: Walikota London dan Gubernur Jakarta



Oleh: Mulki Mulyadi


Nun jauh di negeri ratu Elisabeth Britania Raya, setelah beratus tahun lamanya Negara imperialis yang pernah menguasai empat benua itu berdiri, tahun 2016 dapat dianggap sebagai tahun yang bersejarah. Sadiq Khan seorang muslim keturunan British-Pakistan berhasil menduduki jabatan sebagai wali kota London. Wali kota muslim pertama sejak Negara Kerajaan mayoritas Kristen itu didirikan, dipilih berdasarkan pemilihan umum one man one vote yang intinya bahwa mayoritas warga London menginginkan Sadiq menjadi pemimpin mereka. Sangat bersejarah, terlebih di tengah meningkatnya Islamophobia di Eropa serta dampak dari terorisme global yang mengancam benua biru itu.
Kemudian kembali menyeberang benua, menyusuri lautan dan hinggap di sudut tenggara Asia, salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia yang bernama Indonesia. Negara mayoritas Muslim moderat yang toleran dan demokratis. Memiliki kebudayaan unik yang berdasarkan Pancasila. Negeri bekas jajahan sebuah daerah kecil di sebelah selatan pulau Inggris yang luasnya kira-kira sama dengan kota Jakarta. Di Indonesia kejadian seperti di Britania Raya terjadi jauh sebelum Sadiq Khan mencalonkan diri sebagai walikota London. 
Pemilihan Presiden tahun 2014 yang telah menaikkan Presiden Joko Widodo ke tampuk kekuasaan menimbulkan polemik baru, wakil gubernur Jakarta menggantikan Gubernur Jokowi yang telah menjadi Presiden. Soalannya adalah gubernur baru yang menggantikan ini berasal dari etnis Cina yang beragama Kristen. Praktis secara langsung, Ibukota Indonesia yang mayoritas Muslim dipimpin oleh seorang Gubernur non-muslim dari etnis cina. Pertama kalinya dalam sejarah Indonesia pasca penjajahan. Sebelumnya Jakarta pada masa Presiden Soekarno pernah dipimpin oleh Gubernur non-muslim namun berasal dari Manado.
Basuki Tjahaya Purnama yang kerap disapa Ahok, itulah nama putra Tionghoa yang berhasil secara tidak langsung menjadi Gubernur. Ia tidak dipilih rakyat, ia tidak juga punya kekuatan massa yang besar. Rakyat sebelumnya terkesima dengan kepribadian Joko Widodo yang mencalonkan diri dalam pemilihan Gubernur setahun sebelumnya dengan berpasangan dengan Ahok. Ahok sudah pasti didukung oleh para pengusaha besar beretnis tionghoa dan dengan strategi tersebut berhak menggantikan Joko Widodo memerintah Jakarta. Strategi ini mungkin sudah dirancang jauh-jauh hari dengan memanfaatkan situasi masyarakat Jakarta yang sudah mulai menjunjung pluralitas dan toleransi. Masalah etnis sudah tidak lagi dipersoalkan di Indonesia. Intinya Ahok tetap naik ke tampuk kekuasaan. Memerintah Jakarta dengan janji membereskan semua problematika ibukota.
Masalah pun timbul dan reaksi bermunculan. Gaya kepemimpinan Ahok yang tegas tapi ceplas-ceplos banyak membuat gerah warga Jakarta utamanya para tokoh masyarakat dan Alim Ulama. Para ulama serta merta bereaksi menolak Ahok sebagai Gubernur Jakarta karena Ahok non-muslim. Banyak warga dan tokoh masyarakat mengkritisi gaya bicara Ahok yang sering tidak punya saringan serta tindakannya menggusur warga Jakarta dengan kompensasi yang tidak layak. Kerja keras Ahok membangun Jakarta dianggap oleh para pengamat hanya mementingkan para pengusaha kaya dan etnis cina. Orang miskin yang terpinggirkan seakan tidak punya tempat dalam kepemimpinan Ahok.
Meskipun begitu, banyak pula yang mendukung Ahok yang dianggap tegas dan keras dalam membersihkan Jakarta. Kepemimpinannya dianggap membawa angin segar bagi Jakarta dan membentuk narasi sejarah baru, seorang etnis tionghoa yang dahulu tertindas sekarang memimpin Jakarta. Sebuah narasi yang gemilang dari perjalanan sejarah etnis cina di Indonesia. Pemilu Gubernur Jakarta tahun 2017 akan memberikan peluang untuk Ahok maju sebagai Gubernur yang sebenarnya. Dengan popularitasnya yang melonjak naik disertai dukungan yang meluas dari masyarakat serta tokoh-tokoh Parpol membuatnya percaya diri untuk melenggang ke tampuk kepemimpinan Jakarta, apalagi sudah menjadi rahasia umum bahwa Jakarta adalah batu pijakan untuk meraih kekuasaan yang lebih tinggi. Kekuasaan Negara.
Strategi seperti ini yang banyak disadari oleh masyarakat yang pro maupun kontra, karena itu kedua kubu sama-sama berusaha keras menjatuhkan maupun mendukung sosok Ahok. Tidak seperti masyarakat Inggris yang lebih modern, sekuler dan plural, masyarakat Jakarta masih terbagi antara yang agamais dan sekuler, tradisional dan modern, kelas bawah, menengah dan atas, itupun masih terbagi-bagi lagi ke dalam partai-partai politik dan civil society. Kemajemukan masyarakat Jakarta ini sering tidak terduga arah politiknya yang disebabkan oleh kecenderungan media-media dalam memframe peristiwa yang terjadi. Social media yang berkembang juga menentukan seperti apa respon masyarakat terhadap isu-isu yang berkembang terlebih dalam memilih pemimpin rakyat.
Masyarakat Inggris mungkin lebih rasional dalam memilih pemimpin. Sadiq Khan dianggap mampu memberikan program-program unggulan yang dapat memajukan kota London sebagai kota yang terdepan di dunia namun begitu tetap dalam koridor budaya masyarakat Eropa yang sekuler dan plural. Dengan terpilihnya Sadiq sebagai walikota, berarti pandangan Islamophobia masyarakat London khususnya dan Britani Raya pada umumnya telah berkurang serta kepercayaan kepada Muslim meningkat dengan pesat. Kesadaran tersebut menggambarkan penerimaan warga Inggris atas Islam sebagai agama sebagai bagian dari budaya masyarakat Britania.
Namun Sadiq dan Ahok berbeda dalam karakter dan gaya kepemimpinan. Sadiq menyadari bahwa posisinya sebagai walikota London tetap menghormati dan menjunjung tinggi struktur sosial masyarakat dengan program-program yang disukai oleh masyarakat. Bahkan Sadiq memprakarsai dialog lintas agama untuk mempromosikan Islam sebagai agama damai serta berusaha mengintegrasikan komunitas Muslim dengan komunitas lainnya. Meski begitu ia tetap menuai kritik dari kalangan muslim sendiri karena banyak kebijakannya yang kontroversial yang dianggap tidak sesuai dengan Islam misalnya dukungannya terhadap hak kaum LGBT. Terlepas dari semua itu Sadiq tidak pernah menyakiti ataupun memberikan komentar buruk terhadap warga London. Gayanya yang tenang dengan rancangan program kampanye yang bagus membawanya mulus ke tampuk kepemimpinan.
Kembali pada Ahok yang akan maju sebagai gubernur Jakarta ‘yang sebenarnya’ dan juga ‘pilihan rakyat’. Tahun 2016 juga adalah tahun dimana popularitas Ahok melejit dan juga dimana ia menuai perlawanan keras dari berbagai golongan masyarakat dimana ia dengan semberono mengutip kitab suci agama islam yang dianggap membohongi rakyat karena melarang umat islam memilih pemimpin berbeda agama. Reaksi yang menuntut penangkapan Ahok memuncak dan semakin mengeras seiring tidak adanya statement apapun dari Presiden. Para pendukung Ahok mati-matian membela bahkan dari kalangan Islam sendiri, sebut saja Buya Syafii Ma’arif dan Nusron Wahid. Mereka menganggap kesalahan Ahok tersebut tidak perlu dipersoalkan dan pernyataannya masih bisa ditafsirkan. Intinya Al-Maidah tidak dicoreng oleh lisan Ahok.
Sebaliknya kebanyakan ulama bereaksi keras atas ucapan Ahok salah satunya seperti yang dilakukan MUI. Majelis Ulama tertinggi Indonesia itu mengeluarkan fatwa penistaan agama terhadap Ahok dan menuntut agar Ahok diproses hukum. Berbagai daerah pun bergejolak menuntut penista agama segera ditangkap. Berbagai demo dilakukan di daerah, di Jakarta sendiri demo bela Islam jilid pertama dilakukan tanggal 14 Oktober diketuai oleh Habib Rizieq Syihab yang dikenal sangat keras sejak awal Ahok menjadi Gubernur. Demo pertama ini membawa kepada demo kedua tanggal 4 Nov 2016. Demo terbesar dalam sejarah Republik Indonesia. Ratusan ribu orang dari seluruh Indonesia, ada yang mengatakan hingga jutaan, memadati area Jakarta pusat mulai dari Istiqlal hingga bundaran HI dengan satu tekad guna menuntut Ahok yang dianggap telah menistakan agama. Demo ini berakhir damai karena meskipun ada sedikit kericuhan yang dipicu oleh oknum mahasiswa, terakhir kali demonstrasi besar-besaran tahun 1998 berakhir dengan mundurnya Presiden Soeharto. Demo kali ini aman tidak ada gejolak politik, benar-benar damai.
Hingga tulisan ini ditulis kedua kubu pro dan kontra masih terus saling melempar argument di dunia maya. Kondisi memanas namun terus terjaga karena semua elit Negara berkomitmen menjaga stabilitas, persatuan dan kesatuan bangsa. Karenanya antara negeri Ratu Elisabeth dan Negerinya Sukarno sama-sama mengalami masa transisi sejarah dari Negara yang bergejolak dengan adanya Islamophobia dan Kristopbhobia menuju Negara yang lebih demokratis serta pluralis. Perbedaannya adalah Ahok belum dipilih oleh rakyat sehingga menimbulkan pro dan kontra yang jika dibiarkan akan semakin memanas dan menimbulkan kekacauan ditambah lagi dengan dugaan penistaan agama sedangkan Sadiq secara sadar dipilih dan bagaimanapun adalah pemilik legitimasi kepemimpinan yang sah dari masyarakat London saat ini dan juga lagi-lagi, Sadiq tidak pernah melakukan penistaan agama.

Komentar

  1. Mantap bi hahai. Posting yg lainnya juga dunk

    BalasHapus
  2. Sedikit menyudutkan ahok. Dan membandingkan gaya kepemimpinan sadiq, seandainya presiden skrang, waktu itu nolak tawaran bu mega untuk di calonkan, mka gk akan kaya gini, pertanyaanya apakah semua hal ini sudah di setting dengan orang yg ad di belakang layar. Apa secara tidak langsung hanya kebetulan semata ?.

    Oh ya bi, waktu zaman soekarno siapa nama gubernurnya

    BalasHapus
  3. wah lupa saya nama gubernurnya...
    klo settingan itu juga masih spekulasi semata.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Het Landbezit der Chinezen in Nederlandsch-Indie (Javabode 1858)

Sajak Budaya: Arung Pelaut, Jaya Selalu

Ekonomi dan perniagaan di Asia tenggara abad ke 15-17 M