Puisi Naratif: Dari Tanah Tempat Berhimpunnya Segala Bangsa





Oleh: Mulki Mulyadi*

Dipersimpangan jalan menuju timur tengah. Kudapati dari buku-buku.
Berbagai bangsa berperadaban berkumpul disana dulu sekali, dalam damai.
Di bawah payung pemerintahan tradisional bangsa sendiri yang beganti-ganti.
Ada malik, sultan, amir, Bey, dan khalifah yang memerintah dengan hukum masing-masing.
Seperti di jawa pula ada susuhunan, sultan, raja, dengan gelaran yang berbeda pula.
Namun bangsa mandiri dengan budaya serta nilai moral menurut agama. Berjaya dalam sebuah masa.
Berkembang ilmu pengetahuan yang berjiwa filantrophi yang menginspirasi.
Tandanya banyak ahli ulama yang bermunculan menyambung tali ilmu yang merekah.
Mungkin terlihat kemajuan dan keemasan yang timbul masa itu.
Tergantung sisi mana melihat, sisi mana mengambil pandangan dan simpulan.

Dulu pada awalnya semua Negara damai dan perang dengan aturan main agama.
Tapi bangsa berpalang salib yang berperang ke tanah suci. Tak pakai aturan.
Spanyol disapu dengan fanatisme dan berubah merah tanpa Moor sebagai bangsa.
Lalu mengubah sebuah kepulauan melayu menjadi Filipina dengan Moro sebagai bangsa tertindas
Sebaliknya Usmani datang ke Eropa taklukkan dan bangun kembali, bangsa tiada yang punah.
Berkembang luas satukan daratan Asia-Afrika, bangun suatu negeri dalam kurun yang lama.
Kemudian kongsi dagang kulit putih terbentuk, tamak datang ke kepulauan bersahaja.
Ambil semua kekayaan dengan darah para pejuang lokal yang gigih melawan.
Sesenti demi sejengkal tanah dikuasai, pribumi jadi masyarakat kelas ketiga.

Mereka juga pergi ke barat, namakan Amerika kemudian sikat habis bangsa aslinya.
Ke Afrika dan memperbudak jutaan rakyatnya lalu kemudian ditindas dengan rasis.
Lalu ke selatan, temukan Australia, libas bangsanya yang seenaknya dikatai setengah manusia.
Kini Indian dan Aborigin juga telah terasing, budaya hancur tanah tercerabut tanpa identitas.
Malang tenda-tenda Apache dibakar habis tanpa ada masa depan lagi.
Malang anak-anak Aborigin yang tak lagi mendapati kebudayaan ribuan tahun mereka.
Kekuatan hanya milik bangsa berkulit putih, peradaban adalah milik mereka.
Ilmu pengetahuan datang bersama otak ajaib yang progresif sementara di dunia tengah sana.
Orang-orang masih sibuk bertengkar sesamanya sendiri, Sultan sudah tiada kuasa.
Negeri bawah angin juga sudah tidak sedigdaya dahulu. Terpecah dan tak mampu bangkit.
Namun satu yang tak akan mati semua yang ada dalam keyakinan sanubari.
Bangsa Islam pada jiwanya terkandung nama-nama Allah.
Gagah berani melawan jajahan asing tak seperti bangsa lain yang sama takluk.

Kemudian datang perang besar pertama, kuasa Sultan-Khalifah tumbang jadi sejarah.
Kuasa Jerman- Austria kalah dalam beberapa tahun perang. Sekutu Berjaya.
Timur tengah jadi santapan matang orang-orang tamak, bagi-bagi kue.
Satu yang disitu, yang lain dimakan yang sana, semua dapat bagian.
Hanya orang bodoh yang melihat negaranya hancur dimakan perang.
Tak mampu bangkin lagi lanjutkan perjuangan. Ilmu sudah tak digenggam lagi.

Hanya semangat bangkitkan anak negeri pada masa-masa berkabung. Ratusan tahun.
Nusantara lebih elok lagi, para cendikia dan pemikir bersatu. Santri-abangan bersalim tangan.
Tantang penjajah dan penjajahan. Tangan Sultan dan Raja mendukung kuasa digenggam.
Meski harus menunggu perang besar kedua. Ketika bangsa pendek datang menerjang.
Kepulauan asia jadi makanan empuk, tanda kalahnya kulit putih yang pertama.
Ternyata Asia tak selemah yang dibayangkan semua orang. Jaya juga berkat kekuatan sendiri.

Datangnya Jepang menimbulkan gairah, daulat sekarang di tangan rakyat.
Tinggal menunggu waktu yang tepat tuk merdeka musnahkan jepang dan juga sekutu.
Itu cerita dari negeri bawah angin, bersatu majukan saudara senegeri setumpah darah.
Lain lagi dengan tanah berpasir tempat bertemunya bangsa-bangsa itu. Timur Tengah.
Tanah seribu satu malam telah menjadi kue, tempat para raja dan diktator memakan harta.
Selama beberapa generasi berkembang, namun Negara telah pecah tak lagi mampu bersatu.
Perselisihan sering terjadi diantara satu bangsa dan satu Bahasa. Tanah yang tiada airnya itu.
Irak dan Saudi berseteru dengan Iran yang berevolusi jadi Negara satu ideology.
Turki sudah tak lagi jadi panutan sibuk sendiri dengan sekularisme dan kudeta militer.
Afrika utara tak pernah saling menyapa, kerjasama seperti orang buta dan tuli Intinya sudah tak bersatu lagi.

India dipecah jadi dua, Afghanistan didera kudeta militer kemudian diserang Soviet.
Muslim di China ditindas komunis tak lagi mampu membentuk pemerintahan sendiri.
Asia Tengah jadi bulan-bulanan Soviet, masjid dan gereja dibakar atau dijadikan kandang.
Namun setelah berpuluh tahun dijajah, merdeka dengan ciri tetap komunis.
Diskriminasi tetap merajalela hingga orang-orang bebas berkata apa saja.
Negara berdasar Islam ditentang sekularisme yang punya harga mahal.
Melarang orang islam beribadah dengan jargon hak asasi manusia dan kebebasan.
Timur tengah jadi biang kemunduran dan disalahkan selalu, orang tak lagi mengikuti bahkan antipati.

Yang tertawa adalah mereka, ekonomi sudah dipegang segala kekayaan punya mereka.
Tatanan dunia baru berhasil diciptakan hasil perang dunia yang korbankan Hiroshima dan Nagasaki.
Juga menawan Berlin yang kacaukan Eropa. Jerman sudah tak lagi jadi ancaman.
Sekarang Amerika kuasai ekonomi dengan Dollar yang hanya berbentuk kertas itu.
Dimana-mana tak bisa lagi mandiri semua ditimbang dengan Dollar.
Pecahkan krisis moneter pada berbagai bangsa termasuk Indonesia.
Namun untungkan Negara yang punya fasilitas produksi yang direproduksi.
Kesenjangan menggelora antara kaya dan miskin namun tiada yang perduli.
Berawal dari Kapitalisme zaman VOC yang lakukan monopoli penjualan dan distribusi.
Bangsa dipaksa di daratan bertani padahal sebelumnya adalah pedagang pelaut.

Dunia sekarang terbentang dalam genggaman perserikatan bangsa-bangsa
Ketuanya Amerika, Inggris, Cina dan Rusia. Berebut kebijakan taklukkan Negara lain.
Perang dimana-mana, banyak Negara menjadi gagal, kacau dalam ambisi Negara lain.
Jadi budak ditengah tekanan terutama bangsa di tanah berpasir itu.
Tempat berkumpulnya segala bangsa, yang dulunya merakit peradaban dan kedigdayaan.
Sekarang tumbang tanpa tahu kapan bangkitnya lagi.




*Mahasiswa Magister Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia 2016





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Het Landbezit der Chinezen in Nederlandsch-Indie (Javabode 1858)

Sajak Budaya: Arung Pelaut, Jaya Selalu

Ekonomi dan perniagaan di Asia tenggara abad ke 15-17 M