Puisi Naratif: Terasing di Khabar Tanah Berpasir



Oleh: Mulki Mulyadi*
Pagi ini berdiri diatas lantai bertegel putih polos.
Sambil menarik sebuah kursi tua dengan satu tangan.
Menyaring damai lewat nafas satu-satu.
Kopi panas teman hidangan pagi selagi santai.
Sambung menyambung rasa pisang goreng menggoyang lidah.
Namun damai berubah resah, mata memicing nafas tersengal
Ketika kutemukan dalam bacaan koran digital seluruh dunia.

Kabar duka dari timur tengah, tanah berpasir itu, yang hingga kini membara.
Tentang Ankara, San’a, Kairo, Alepo, Raqqa, Mosul dan Libya.
Beruntun seperti keluarnya peluru dari sarang mesin perang.
Ada kukabarkan pada seorang teman yang sedang belajar.
Apa kabarnya disana, ia menjawab Mesir sudah tenang.
2011 bergejolak revolusi, 2013 juga militer mengkudeta.
Sisi naik ke tampuk kuasa, Ikhwan menjadi santapan keji.
Istilah teroris menjadi doyanan anak-anak negeri.

Hasil keberhasilan negeri paling rasis berjuluk anak-anak zionis.
Pagi ini kakiku melipat, duduk nyaman sembari menyeruput.
Tapi bukan kopi lagi rasa itu, laksana rasa darah saja mereka itu.
Berturut-turut musim semi itu berubah menjadi musim gugur.
Libya berperang, Tunis berang. Khadafi tertembak, Ben Ali mengasingkan diri.
Syria perang saudara, Irak berpeluh sektarian seiring ditariknya pasukan paman sam.
Libya kembali memanas, gugurnya pemimpin tak jadi solusi.
Malah bangkitkan militan lain yang afiliasi bersama teroris dari Irak dan Syria.

Lalu 2014 geger orang sejagad, lahirnya Negara dalam Negara.
Kejam ia menjadi musuh manusia sedunia gelarnya katanya khalifah.
Kacau Syria ia manfaatkan, hancurkan segala sisi hasilnya banyak imigran pengungsi.
Irak diserangnya Mosul menjadi tawanan tapal batas Negara tak lagi berharga.
Banyak militant lintas Negara mendukungnya, pengaruhnya menggurita.
Dari afrika hingga Indonesia tebarkan ancaman serta terror mematikan.
Itu cerita modern sang penggelar khalifah namun sejagad tak peduli bahkan mencerca.
Karena kejamnya katanya diatas ambang batas namun korban tak tahu apa-apa.

Lalu kudengar kabar miring tentang konspirasi yang katanya ciptaan Negara Barat.
Gundah hati melihat perang yang tak tentu kapan berakhirnya, Syria Negara gagal.
Irak jadi negara budak diatur Iran dan Amerika bahu membahu menumpas Khalifah.
Sementara Israel senang bukan kepalang palestina jadi kabar klasik yang tak jadi soalan lagi.
Yang jadi tumbal Eropa karena harus menerima pengungsi yang jumlahnya jutaan.
Khawatir akan adanya Islam merasuk ke jantung Eropa, malang nian nasib pengungsi.

Negara lain jadi penonton hanya mengutuk tak ada yang menggelar pawai mendamaikan.
Lalu San’a dihantam Houthi, isu sektarian menggelora dibantu Iran kuasai Yaman.
Aku gelisah tak tentu arah membaca berita tak terbayang penderitaan rakyat.
Yaman digempur Saudi hingga kini masih terperangkap kobaran api.
Meski koalisi Islam dibentuk, politik sudah tak ramah lagi.
Semakin bingung dunia yang rebut dengan siapa mendukung siapa.
Assad tak mau turun, oposisi tak mahu menyerah, Negara Khalifah tak ingin mundur.

Pertempuran dahsyat mengguncang seluruh timur tengah.
Tanah yang ribuan tahun selalu damai, tanah Umayyah, Abbasiyah dan Usmaniyah.
Tanah itu sekarang jadi tanah Harbiyyah, perang merontokkan sendi rakyat.
Seperti juga tanah jawa dahulu, namun kita dapat bersatu.
Tak seperti Mosul dan Raqqa yang tak dapat dukungan apa pun.
Surabaya miliki santri seabrek pulau, bagaikan Aleppo namun dukungannya kacau.
Bagai orang pengecut hanya kirim senjata tak mahu datang kasih tenaga.
Menimbang kesenangan liat orang berkelahi, disana ia hanya duduk seruput kopi.

Memang politik makin tak terkendali orang dukung sini memusuhi sana.
Tak ada yang lagi dapat dipercaya, Aleppo jadi santapan segara mortar dan bom.
Raqqa dan Mosul tak ada teman digempur siang dan malam, rakyatnya.
Aku tak peduli yang berperang namun rakyatnya.. masa depan anak-anaknya.
Pengungsi yang berjuta-juta itu hendak lari kemana, Negara mereka gagal.
Korban politik sepicik otak pemimpinnya sendiri dan kita masih duduk disini jua.

Memang katanya fitnah itu tak usah diladeni tapi solusi tak juga datang.
Yaman masih membara, Houthi keras kepada, Saudi hanya peduli masalah ideology.
Iran bermain sektarian di dua arah membantu diam-diam, ketiga Syria bersama Hizbullah.
Arab teluk menyuapi oposisi turunkan Assad namun tak mau konfrotasi langsung.
Mesir sudah lumpuh tak lagi mahu urusi yang lain, dekat pula dengan Israel.
Ankara bermain dibelakang suapi oposisi mengganyang kurdi dan Assad bersama-sama Arab Saudi.
Aku terhenyak dibalik layar digital dan kertas koran lusuh.
Menahan nafas pilu yang memang tak ada guna bila hanya dipendam sahaja.

Lalu Istanbul dan Ankara kena ledakan bom yang katanya buatan sang khalifah.
Teroris menggila Eropa juga kena batunya, menghalangi pengungsi malah hadapi ledakan.
Paris geger banyak orang berduka tapi lupa kacaunya timur tengah.
Ya, banyak pro barat tapi nyinyir dengan kata Arab dilafalkan.
Seperti mau muntah saja dikatakan ini bukan Negara Arab, siapa bilang pula.
Tak tahu sejarah bangsa Arab datang membantu orang Jawa dan Sumatera.
Kerajaan keturunan Arab ada di pontianak bangkitkan semangat bangsa lokal.
Mereka lupa yang menjajah nusantara siapa, barangkali lupa dirinya pula.
Itu tanah Arab hancur binasa dan kita malah adem ayem dalam mimpi lelap.

Turki yang bermain pun kena kudeta yang simpang siur tak jelas siapa pelaku.
Yang jelas militer hendak mengambil kuasa lalu sang pemimpin meronta.
Tuduh sosok tua dibalik percobaan yang gagal, dia dan kelompoknya dipanggil teroris.
Istilah yang telah menjadi doyanan anak-anak negeri, kataku.
Siapa pula sosok tua kharismatis itu, yang katanya orang kedua berpengaruh dalam negeri.
Gerakannya menjangkau seluruh dunia mulai sekolah hingga universitas.
Tuduhannya Negara dalam Negara, mirip ISIS namun tersembunyi.
Kacau Negara Turki, puluhan ribu orang dipenjara tanpa pengadilan.
Dari guru hingga insinyur sama rata bahkan dikejar hingga pelosok dunia.
Mau digempur katanya seperti menggempur ISIS yang juga sedang terdesak.

Akhirnya setelah Alepo porak poranda kena misil Rusia.
Oktober Mosul digempur dalam kesendirian, rakyat dijadikan tameng hidup.
2016 tahun kekacauan dan peperangan, koalisi amerika membantu Irak, Rusia membantu Assad.
Turki membantu Peshmerga, Baghdad berang tak terima namun lanjut menggempur.
Mosul dalam situasi menggenaskan, kota bersejarah akan segera musnah.
Kedua kubu tak mau menyerah, sang khalifah diambang keruntuhan.
Lebih baik mati daripada menyerah, dulu orang Indonesia juga berkata begitu.
Namun musuh dulu jelas bukan saudara, ini musuh keluarganya pula.
Rasa batin sudah rasa kentalnya darah, merah darahku masin rasanya. Itulah rasaku kini.
Layar digital itu mengendap-endap, mati tak sanggup kubaca lagi.
Mosul rakyatmu, adukanlah semuanya nanti dihadapan tuhan.



*Penulis adalah mahasiswa Magister Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia 2016.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Het Landbezit der Chinezen in Nederlandsch-Indie (Javabode 1858)

Sajak Budaya: Arung Pelaut, Jaya Selalu

Ekonomi dan perniagaan di Asia tenggara abad ke 15-17 M