Suriah: Selayang Sajak Dari Balik Gedung Berwarna Semen
Oleh: Mulki Mulyadi
(Sastrawan Sejarah dari Komunitas Rempah)
Tembakan datang entah darimana, nun jauh disana tak tentu
asalnya dimana.
Ledakan bertubi-tubi mengguntur siang dan malam tak perduli
lagi gencatan senjata.
Asap mengepul membumbung dari sela-sela tanah berdebu.
Dari gedung-gedung berwarna semen yang bagaikan kumpulan rumah
hantu.
Teronggok menyedihkan terkena bom yang menyapu daratan,
carpet bomb.
Kadang juga suara bising roket-roket memecah telinga
menggempar suasana.
Disela-sela apartement bertingkat yang tak bercat itu
berlari seorang anak.
Ailan Kurdi? Bukan, Ailan telah lama tersapu ombak di laut
Turki.
Menghilang ia diiringi beribu yang lain susul menyusul bak
mengantri mati.
Alepo, ah tidak seluruh kota-kota yang hancur itu bernuansa
sama.
Gedung kotak simetris tak bercat yang masih berdiri namun
sama hancurnya.
Kota itu bukanlah kota lagi, ia kota mati yang sering
keliatan di layar kaca itu.
Film kah ini? Ternyata bukan, Ini suriah yang hidupnya enggan
mati tak mahu.
Ketika tengok film zombie yang terlintas adalah wajah kota
dan warga suriah.
Wajah yang tersapu debu bercampur darah, anehnya masih dapat
bergerak-gerak.
Banyak anak menjerit meraung namun tak pernah minta
dikasihani.
Hanya orang saja yang lalu lalang minta bantuan, si anak
tetap bertahan.
Anak itu berlari, mengambil adiknya yang menjerit mendengar
desingan peluru.
Digendong adiknya menjauh dari pertempuran. Gedung
disekitarnya rubuh semua.
Asli bukan rekaan saudaraku! Lihat saja dan bayangkan
bagaimana hidup seperti itu.
Di tengah gurun tandus kota itu berdiri dan tak lama lagi
tertimbun pasir kembali.
Sementara pesawat-pesawat Rusia menjatuhkan misil-misil
sembarangan.
Menyasar sekolah, rumah sakit bahkan tempat pengungsian. Tak
berdaya.
Oposisi menyerang tak kenal berhenti, tentara Assad juga tak
hendak menyerah.
Tapi sama-sama punya musuh yang sama, kalahkan ISIS yang
takluknya lama.
Tambah Kurdi dan juga Turki yang saling menyerang, alangkah
bingungnya.
Oposisi biayai Koalisi, Suriah biayai Rusia tak kenal ampun
hajar seluruh tak bersisa.
Kota berdebu itu menjelang siang alangkah panas, lihat saja
walau dari foto.
Sungguh terik menyengat ada mobil terbakar dimana-mana berasap
pula.
Lihat wilayahnya semuanya rata seakan melihat gambar planet
merah.
Perempuan anak-anak berjalan kaki menenteng koper
satu-satunya.
Berisi pakaian dan uang seadanya hendak keluar dari medan
mematikan.
Jadi pengungsi berharap tanah Allah luas dan hidup tak hanya
untuk mati belaka.
Tapi jadi pengungsi tak lantas buat orang kasihan banyak
kecurigaan.
Bangsa Eropa menolak sebagian pilih-pilih mana guna mana tak
guna.
Pengungsi jutaan jiwa banyaknya di Turki dan di Saudi.
Jutaan.
Sebagian ke Amerika dan Australia, singgah ke Indonesia cari
kehidupan.
Lalu lalang membuat pilu apa yang sudah kita beri kepada
mereka.
Lantas wajah penuh debu campur darah yang saban kali
terlihat dalam gambar itu.
Untuk apa bertampang menyedihkan begitu mereka juga punya
harga diri.
Kembali ke pertempuran memuakkan itu, terlihat korban
bergelimpangan.
Bayangkan bayi beberapa bulan tertimpa reruntuhan beruntung
masih hidup.
Seorang anak tatapan hampa duduk di belakang mobil bermandi
debu dan darah.
Juga ibu yang menangis dipinggir mayat suami dan anaknya
yang terkena bom semenit yang lalu.
Padahal sesaat lalu masih terlihat senyuman canda tawa walau
perih batin terasa.
Kini mereka tergeletak tak bernyawa, sang ibu selamat karena
tak lama keluar beli roti.
Tangisannya pilu sendu mengiris jiwa dan harga diri, apakah
kita masih punya harga.
Lalu jeritan seorang anak yang
meraung kesakitan di sebuah rumah sakit sarat pasien.
Akan kuadukan kepada penciptaku,
kuadukan engkau pada penciptaku. Katanya sebelum berpulang.
Perlahan nafasnya berhenti semua
pun menangis histeris.
Membuat air mata yang mengering
kembali berair karena bertimpa-timpa duka itu.
Darah disana tercurah-curah tak
henti kawan! Tak pernah berhenti.
Dimana alasan mereka yang ingin
membuat perdamaian utuh.
Karena perang tak lagi dapat
mereka kendalikan dengan hanya mengirim senjata.
Dimana pemimpin yang pengecut itu
beraninya korbankan rakyat sipil.
Dimana pasukan yang kepala batu
itu katanya oposisi tapi tak punya strategi jitu.
Malah ISIS jadi untung punya
wilayah yang luasnya bukan kepalang.
Jika saja mereka bersatu lebih
awal mungkin perang tak selama yang terjadi.
Jika saja Basyar mengalah tak
mungkin terjadi lagi pertumpahan darah.
Miskin hati mereka yang menggebu
semangat tapi jadi permainan elit global.
Diombang ambing dengan misil dan
bom yang dikirim tapi tak membuahkan hasil.
Malah pesawat rusia datang
menyerbu buat pangkalan mendesak perlawanan.
Hancurkan yang ada tinggalkan
yang tersisa dalam bangkai dalam puing-puing.
Para penolong dan relawan semakin
banyak jadi korban rumah sakit sudah tak lagi aman.
Perserikatan bangsa-bangsa
layaknya orang bisu dan tuli, renta pura-pura tak tahu.
Padahal bisa saja kirim pasukan
damaikan negeri rintangi kawan dan juga lawan.
Tapi mereka yang bersenang di
balik layar tak hendak itu terjadi.
Assad tetap melenggang bersama
Rusia, ISIS sempurna walau telah terdesak.
Oposisi bertaruh mati satu lawan
satu. Rakyat mati satu persatu.
Banyak Negara menjadi gagal, tapi
ada Negara yang sengaja digagalkan.
Ada Negara yang senang lihat
darah, ada yang senang santapan darah.
Demi bisnis senjata yang melimpah
jual menjual senjata menjadi mudah.
Untung mengeruk minyak dan hasil
bumi saat tak lagi ada yang memperhatikan.
Minyak yang dikeruk dijadikan
jaminan setelah perang, bikin susah jutaan orang.
Entah Assad, ISIS atau yang lain
motifnya sama politik busuk, rugikan kemanusiaan.
Negara banyak menyumbang hanya
jadi makanan kayu bakar, terbakar tanpa sisa.
Anak itu termenung di bawah
reruntuhan dan sisa-sisa peradaban.
Api, mungkin api yang ada dalam
raut wajah dan mata kecilnya.
Lihat negerinya yang hancur
mungkin menyisakan trauma mendalam.
Mereka dewasa sebelum waktunya,
perang sebelum sanggup berperang.
Ayah kakeknya terbunuh atau
berperang, ibu neneknya terdampar jadi janda.
Kain lusuh ibunya berkibar-kibar
tatapan mata putus asa terlihat memelas.
Tapi anak itu tatapannya tajam,
menyiratkan bara yang siap meledak.
Di masa depan entah ia kan jadi
apa, ikuti jejak bapak-bapaknya atau jadi penumpu perdamaian.
Singkirkan kegagalan masa lampau
lalu berjaya membangun negeri.
Mudah-mudahan anak-anak itu tak
lagi jadi abu di jalanan berdebu.
Tapi berkembang untuk lima puluh,
sampai satu abad kemudian.
Bahkan untuk selamanya.
Suriah, duka kami untukmu, doa
kami juga untuk tanahmu.
Penerusmu akan membangunmu
kembali, janganlah pergi.
Komentar
Posting Komentar