Dinasti Buwaihi dan peranannya dalam kemajuan Islam


Oleh:
Muhamad Mulki Mulyadi Noor
1.      Pendahuluan
Keadaan dunia Islam semakin terpecah-pecah seiring melemahnya kontrol dinasti Abbasiyah terhadap wilayah-wilayahnya. Keadaan ini semakin memperkuat kesan bahwa khalifah dari Bani Abbas sudah tidak sanggup lagi untuk memerintah dunia Islam yang sangat luas tersebut. Perpecahan ini menimbulkan dinasti-dinasti kecil seperti Ghuriyyah, Saffariyah, Ghaznawiyah, dan Samaniyah. Mereka memerintah meskipun independen namun tetap mengakui kududukan khalifah di Baghdad.
Satu persatu wilayah-wilayah Abbasiyah di timur dan barat memerdekakan diri sedangkan khalifah tidak mampu berbuat apa-apa bahkan di Baghdad sendiri timbul kekacauan-kekacauan akibat masuknya orang-orang Turki dan semakin menguatnya paham Syiah. Ditengah kekacauan inilah Khalifah meminta bantuan seorang penguasa dari bani Buwaihi yang berpaham Syiah. Dari sinilah kekuasaan Bani buwaihi atas Baghdad dimulai. Meskipun Khalifah dan sebagian umat islam sangat tertekan akibat paham yang dianut oleh dinasti ini, akan tetapi banyak kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa dinasti ini berkuasa.
Makalah ini akan membahas dan menguraikan sejarah dan peran dinasti Buwaihi terhadap kemajuan Islam pada zaman itu.

 1. Asal usul Dinasti Buwaihi
Asal muasal bani Buwaihi adalah negeri Dailam atau Jilan. Negeri ini terletak di barat daya laut kaspia. Negeri ini telah tunduk kepada pemerintahan Islam sejak zaman Khalifah Umar bin Khattab, namun rakyatnya masih tetap pada agama mereka dan lebih suka membayar jizyah.[1]
Dinasti ini di bangun oleh tiga putra Abu Syuja’ Buwaihi –seorang nelayan di wilayah Dailam- ketiganya adalah Ali bin Buwaihi yang berkuasa di Isfahan, Hasan bin Buwaihi yang berkuasa di Rayy dan Jabal, Serta Ahmad yang membangun kekuatan di Khuzistan dan Ahwaz (sekitar irak). Dalam sejarahnya ketiga bersaudara ini membangun karir militer mereka pada Dinasti Bani Saman. Tak lama kemudian mereka bergabung dengan pasukan Mardawij Ad-Dailamy, karena prestasi mereka yang menonjol panglima Mardawij mengangkat Ali sebagai gubernur Al-Karaj, sedangkan Hasan dan Ahmad menduduki jabatan penting. Sepeninggal Mardawij kekuasaan mereka semakin melebar di kota-kota Persia lainnya seperti Isfahan ray dan Jabal.
Untuk menegakkan eksistensi kekuasaannya, Bani Buwaihi meminta pengakuan dari Dinasti Abbasiyah yang saat itu masih kuat. Ali pun mengirimkan upeti ke Baghdad sebagai permohonan untuk mendapatkan pengakuan dari Khalifah. Dinasti ini pun segera diakui oleh Khalifah dan secara leluasa melebarkan pengaruhnya ke seantero Persia hingga mencapai Irak.[2]

2. Dinasti Buwaihi di Baghdad
Ditengah menguatnya militer Bani Buwaihi, kekuatan dinasti Abbasiyyah malah semakin menurun dan dilanda kekacauan. Persaingan dan perebutan jabatan Amir Umara diantara Wazir dan panglima militer yang dikuasai orang-orang Turki. Maka fase yang paling gelap dalam sejarah kekhalifahan ini dimulai, ketika Khalifah Al-Mustakfi Billah terpaksa meminta bantuan kepada pemimpin Buwaihi yaitu Ahmad untuk memasuki Baghdad untuk mengangkatnya sebagai Amir Umara.[3] Dari Shiraj Ahmad menyerang Baghdad pada tahun 945 M dan berhasil mengusir militer Turki dari sana. Pasukan Buwaihi ini mendapat sambutan dari Khalifah Al-Mustakfi dan Ahmad menerima gelar Mu’izz Daulah dan memerintah sebagai wazir utama dan mengambil kekuasaan atas orang-orang Sunni.[4] Sedangkan Ali dan hasan mendapat gelar masing-masing sebagai Imad Daulah dan Ruknu Daulah.
Dinasti Buwaih pun memindahkan pusat kekuasaannya dari Syiraz ke Baghdad. Di kota itu mereka membangun istana-istana yang disebut Dar Al-Mamlakah (rumah kerajaan). Meski begitu, pusat kekuasaan Dinasti Buwaihi yang sebenarnya berada di Syiraz, tempat Ali bin Buwaihi (saudara tertua) bertahta. Berkuasanya Bani Buwaih di Baghdad ternyata mampu menyatukan kembali dinasti-dinasti kecil yang sempat menyatakan keluar dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah.[5]
Sejak saat itu Khalifah tidak lebih sebagai boneka ditangan para penguasa Buwaihi yang mengambil gelar Sultan untuk menutupi wewenang khalifah, mencetak mata uang atas namanya, dan menyebut namanya dalam mimbar jum’at. Kekuasaan ini sangat besar sehingga khalifah tidak memiliki kekuasaan sedikit pun selain daripada Istananya sendiri. Pada masa ini khalifah di Baghdad tidak memiliki Wazir dan hanya memiliki Katib (sekertaris) yang mengurusi hal ihwal pribadi Khalifah.[6]
Pada tahun 946, Khalifah Al-Mustakfi menjadi buta dan digulingkan oleh Muizz Daulah dan kemudian memilih Al-Mutsi sebagai Khalifah baru. Institusi khalifah melewati masa-masa menyedihkan ketika perayaan-perayaan Syiah mulai marak diselenggarakan. Masa keemaasan dinasti terjadi pada masa pemerintahan Adud Daulah yang paling unggul dan termasyhur diantara penguasa Buwaihi yang lainnya. Pada zamannya ia berhasil mempersatukan dinasti-dinasti yang sebelumnya berpisah dari kekuasaan Abbasiyah. [7]
Di Baghdad pengganti Muizz Daulah adalah Izzu Daulah (967 M) yang sejak saat itu kekuasaan mutlak berada ditangannya. Izzu Daulah memakai dua gelar yaitu Syahansyah (Raja Diraja) dan juga Sultan. Izzu Daulah bersaing memperebutkan kekuasaan dengan sepupunya Adud Daulah yang akhirnya dapat membunuh Izzu Daulah. Selanjutnya Adud Daulah digantikan oleh anaknya yang bergelar Syams Daulah atau Syams Millah yang akhirnya juga dikudeta oleh saudaranya Sharf Daulah (983-989 M). Sesudahnya semua Sultan Buwaihi lemah akibat perpecahan diantara mereka sendiri dan akhirnya akibat memberontakan panglima Al-Bassasiri yang ingin menyerahkan Baghdad kepada penguasa Fatimiyyah serta perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan Sultan kepada Khalifah, Khalifah Al-Qoim Billah meminta bantuan kepada Tughril Bek penguasa Bani Saljuq untuk memasuki Baghdad. Dan akhirnya berakhirlah kekuasaan Dinasti Buwaihi atas Khilafah Abbasiyah pada tahun 1055 M.[8]

3. Kemajuan yang dicapai Dinasti Buwaihi
Masa kejayaan Dinasti Buwaihi adalah transisi berakhirnya kekuasaan bangsa Arab dalam dinasti Abbasiyah. Buwaihi berhasil menegakkan supremasi politik dan ilmu pengetahuan yang telah dicapai para Khalifah Abbasiyah terdahulu. Ini dikarenakan pada Sultan Buwaihi sangat mencurahkan perhatian kepada kemajuan seni dan ilmu pengetahun. Kemajuan yang dicapai pada masa ini ditandai dengan munculnya para ulama yang mumpuni pada cabang-cabang ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Antara lain:
-          Al-Farabi (Filsafat) yang dikenal sebagai second teacher setelah Aristoteles, dan juga Ibnu Miskawaih yang dikenal sebagai guru ketiga di bidang filsafat.
-          Ibnu Sina yang dijuluki sebagai Syaikh Ar-Rois (Guru ketua) dalam bidang kedokteran dengan karyanya yang termasyhur Qanun fi Thibb
-       Al-farghani dan Abdurrahman As-shufi, dalam bidang Astronomi yang banyak menghasilkan karya-karya penting dalam cabang ilmu tersebut.
-          Ferdowsi, Umar Khayaam dan Mutanabbi adalah pujangga yang termasyhur dengan karya sastra yang indah dan menawan. Begitu pula dengan Abu A’la Al-Ma’arri yang dikenal sebagai penyair, penulis dan juga Ahli Filsafat.
-      Al-Mas’udi dalam bidang geografi dan sejarah. Karyanya yang terkenal adalah kitab Akhbar Az-zaman.
-             Abu Raihan Al-Biruni dalam bidang matematika, fisika dan juga Astronomi.
Zaman keemasan yang ditandai dengan kepemimpinan Adud Daulah telah berhasil memajukan wilayah kekuasaannya dalam bidang infrastruktur dengan memperindah Baghdad, membangun Masjid-masjid, rumah sakit dan gedung-gedung publik, memperbaiki kanal-kanal yang usang, dan menyediakan dana bagi lembaga-lembaga penyantun. Pembangunan ini membantu memajukan perdagangan, pertanian, dan industri terutama industri permadani. Rumah sakit yang paling terkenal yang pernah dibangun Adud Daulah adalah Rumah sakit Bimaristan Al-Adudi yang menghabiskan 100.000 dinar pada saat pembangunannya dengan 24 dokter yang juga menjadi pengajar kedokteran. Sharafud Daulah penerus Adud membangun Observatorium terkenal mengikuti teladan Khalifah Al-Ma’mun. pada zaman Baha’ Daulah ia juga membangun akademi di Baghdad lengkap dengan perpustakaan yang menyimpan 100.000 buku.[9]
Dalam bidang seni rupa dinasti ini termasyhur dengan keramiknya yang indah bernama gabri, Buwaihi juga terkenal dengan kaca dan gelasnya yang menawan disamping seni dan kerajinan logam terutama perak yang mengadopsi ukiran khas dinasti Sasania yang bercorak hewan buas, burung serta musisi. Pencapaian ini membuktikan bahwa seni dan kesusastraan mendapat tempat yang terhormat pada zaman itu.[10]
5.      4. Daftar Pustaka
Hitti, Philip, Dinasti-Dinasti di Timur, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997
Karim, Abdul, Islam di Asia Tengah, Bagaskara, Yogyakarta, 2006
Syalabi, Ahmad, Sejarah kebudayaan Islam 3, Pustaka Al-husna, Jakarta, 1993
Hitti, Philip, History of Arabs, Serambi, Jakarta, 2013



[1] Dr Ahmad Syalabi, Sejarah kebudayaan Islam 3, Pustaka Al-husna, Jakarta, 1993, hal: 323
[3] Philip K. Hitti, History of Arabs, Serambi, Jakarta, hal: 598
[4] Dr. Abdul Karim, MA, Islam di Asia Tengah, Bagaskara, Yogyakarta, 2006, hal: 24
[6] Dr Ahmad Syalabi, Sejarah kebudayaan Islam 3, Pustaka Al-husna, Jakarta, 1993, hal: 328
[7] Philip K. Hitti, History of Arabs, Serambi, Jakarta, hal: 599-600
[8] Dr. Abdul Karim, MA, Islam di Asia Tengah, Bagaskara, Yogyakarta, 2006, hal: 25-26
[9] Philip K. Hitti, Dinasti-Dinasti di Timur, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997, hal: 601

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Het Landbezit der Chinezen in Nederlandsch-Indie (Javabode 1858)

Sajak Budaya: Arung Pelaut, Jaya Selalu

Ekonomi dan perniagaan di Asia tenggara abad ke 15-17 M