Dinasti Buwaihi dan peranannya dalam kemajuan Islam
Oleh:
1.
Pendahuluan
Keadaan
dunia Islam semakin terpecah-pecah seiring melemahnya kontrol dinasti Abbasiyah
terhadap wilayah-wilayahnya. Keadaan ini semakin memperkuat kesan bahwa
khalifah dari Bani Abbas sudah tidak sanggup lagi untuk memerintah dunia Islam
yang sangat luas tersebut. Perpecahan ini menimbulkan dinasti-dinasti kecil
seperti Ghuriyyah, Saffariyah, Ghaznawiyah, dan Samaniyah. Mereka memerintah
meskipun independen namun tetap mengakui kududukan khalifah di Baghdad.
Satu
persatu wilayah-wilayah Abbasiyah di timur dan barat memerdekakan diri
sedangkan khalifah tidak mampu berbuat apa-apa bahkan di Baghdad sendiri timbul
kekacauan-kekacauan akibat masuknya orang-orang Turki dan semakin menguatnya
paham Syiah. Ditengah kekacauan inilah Khalifah meminta bantuan seorang penguasa
dari bani Buwaihi yang berpaham Syiah. Dari sinilah kekuasaan Bani buwaihi atas
Baghdad dimulai. Meskipun Khalifah dan sebagian umat islam sangat tertekan
akibat paham yang dianut oleh dinasti ini, akan tetapi banyak kemajuan-kemajuan
yang dicapai pada masa dinasti ini berkuasa.
Makalah
ini akan membahas dan menguraikan sejarah dan peran dinasti Buwaihi terhadap
kemajuan Islam pada zaman itu.
1. Asal usul Dinasti Buwaihi
Asal
muasal bani Buwaihi adalah negeri Dailam atau Jilan. Negeri ini terletak di
barat daya laut kaspia. Negeri ini telah tunduk kepada pemerintahan Islam sejak
zaman Khalifah Umar bin Khattab, namun rakyatnya masih tetap pada agama mereka
dan lebih suka membayar jizyah.[1]
Dinasti
ini di bangun oleh tiga putra Abu Syuja’ Buwaihi –seorang nelayan di wilayah
Dailam- ketiganya adalah Ali bin Buwaihi yang berkuasa di Isfahan, Hasan bin
Buwaihi yang berkuasa di Rayy dan Jabal, Serta Ahmad yang membangun kekuatan di
Khuzistan dan Ahwaz (sekitar irak). Dalam sejarahnya ketiga bersaudara ini
membangun karir militer mereka pada Dinasti Bani Saman. Tak lama kemudian mereka
bergabung dengan pasukan Mardawij Ad-Dailamy, karena prestasi mereka yang
menonjol panglima Mardawij mengangkat Ali sebagai gubernur Al-Karaj, sedangkan
Hasan dan Ahmad menduduki jabatan penting. Sepeninggal Mardawij kekuasaan
mereka semakin melebar di kota-kota Persia lainnya seperti Isfahan ray dan
Jabal.
Untuk
menegakkan eksistensi kekuasaannya, Bani Buwaihi meminta pengakuan dari Dinasti
Abbasiyah yang saat itu masih kuat. Ali pun mengirimkan upeti ke Baghdad
sebagai permohonan untuk mendapatkan pengakuan dari Khalifah. Dinasti ini pun
segera diakui oleh Khalifah dan secara leluasa melebarkan pengaruhnya ke
seantero Persia hingga mencapai Irak.[2]
2. Dinasti Buwaihi di Baghdad
Ditengah
menguatnya militer Bani Buwaihi, kekuatan dinasti Abbasiyyah malah semakin
menurun dan dilanda kekacauan. Persaingan dan perebutan jabatan Amir Umara
diantara Wazir dan panglima militer yang dikuasai orang-orang Turki. Maka fase
yang paling gelap dalam sejarah kekhalifahan ini dimulai, ketika Khalifah
Al-Mustakfi Billah terpaksa meminta bantuan kepada pemimpin Buwaihi yaitu Ahmad
untuk memasuki Baghdad untuk mengangkatnya sebagai Amir Umara.[3]
Dari Shiraj Ahmad menyerang Baghdad pada tahun 945 M dan berhasil mengusir
militer Turki dari sana. Pasukan Buwaihi ini mendapat sambutan dari Khalifah
Al-Mustakfi dan Ahmad menerima gelar Mu’izz Daulah dan memerintah sebagai wazir
utama dan mengambil kekuasaan atas orang-orang Sunni.[4]
Sedangkan Ali dan hasan mendapat gelar masing-masing sebagai Imad Daulah dan
Ruknu Daulah.
Dinasti
Buwaih pun memindahkan pusat kekuasaannya dari Syiraz ke Baghdad. Di kota itu
mereka membangun istana-istana yang disebut Dar Al-Mamlakah (rumah kerajaan). Meski
begitu, pusat kekuasaan Dinasti Buwaihi yang sebenarnya berada di Syiraz,
tempat Ali bin Buwaihi (saudara tertua) bertahta. Berkuasanya Bani Buwaih di
Baghdad ternyata mampu menyatukan kembali dinasti-dinasti kecil yang sempat
menyatakan keluar dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah.[5]
Sejak
saat itu Khalifah tidak lebih sebagai boneka ditangan para penguasa Buwaihi
yang mengambil gelar Sultan untuk menutupi wewenang khalifah, mencetak mata
uang atas namanya, dan menyebut namanya dalam mimbar jum’at. Kekuasaan ini
sangat besar sehingga khalifah tidak memiliki kekuasaan sedikit pun selain
daripada Istananya sendiri. Pada masa ini khalifah di Baghdad tidak memiliki
Wazir dan hanya memiliki Katib (sekertaris) yang mengurusi hal ihwal pribadi
Khalifah.[6]
Pada
tahun 946, Khalifah Al-Mustakfi menjadi buta dan digulingkan oleh Muizz Daulah
dan kemudian memilih Al-Mutsi sebagai Khalifah baru. Institusi khalifah
melewati masa-masa menyedihkan ketika perayaan-perayaan Syiah mulai marak
diselenggarakan. Masa keemaasan dinasti terjadi pada masa pemerintahan Adud
Daulah yang paling unggul dan termasyhur diantara penguasa Buwaihi yang lainnya.
Pada zamannya ia berhasil mempersatukan dinasti-dinasti yang sebelumnya
berpisah dari kekuasaan Abbasiyah. [7]
Di
Baghdad pengganti Muizz Daulah adalah Izzu Daulah (967 M) yang sejak saat itu
kekuasaan mutlak berada ditangannya. Izzu Daulah memakai dua gelar yaitu
Syahansyah (Raja Diraja) dan juga Sultan. Izzu Daulah bersaing memperebutkan
kekuasaan dengan sepupunya Adud Daulah yang akhirnya dapat membunuh Izzu
Daulah. Selanjutnya Adud Daulah digantikan oleh anaknya yang bergelar Syams
Daulah atau Syams Millah yang akhirnya juga dikudeta oleh saudaranya Sharf
Daulah (983-989 M). Sesudahnya semua Sultan Buwaihi lemah akibat perpecahan
diantara mereka sendiri dan akhirnya akibat memberontakan panglima Al-Bassasiri
yang ingin menyerahkan Baghdad kepada penguasa Fatimiyyah serta perlakuan
sewenang-wenang yang dilakukan Sultan kepada Khalifah, Khalifah Al-Qoim Billah
meminta bantuan kepada Tughril Bek penguasa Bani Saljuq untuk memasuki Baghdad.
Dan akhirnya berakhirlah kekuasaan Dinasti Buwaihi atas Khilafah Abbasiyah pada
tahun 1055 M.[8]
3. Kemajuan yang dicapai Dinasti Buwaihi
Masa
kejayaan Dinasti Buwaihi adalah transisi berakhirnya kekuasaan bangsa Arab
dalam dinasti Abbasiyah. Buwaihi berhasil menegakkan supremasi politik dan ilmu
pengetahuan yang telah dicapai para Khalifah Abbasiyah terdahulu. Ini
dikarenakan pada Sultan Buwaihi sangat mencurahkan perhatian kepada kemajuan
seni dan ilmu pengetahun. Kemajuan yang dicapai pada masa ini ditandai dengan
munculnya para ulama yang mumpuni pada cabang-cabang ilmu pengetahuan yang
berkembang pada saat itu. Antara lain:
-
Al-Farabi
(Filsafat) yang dikenal sebagai second teacher setelah Aristoteles, dan juga
Ibnu Miskawaih yang dikenal sebagai guru ketiga di bidang filsafat.
-
Ibnu
Sina yang dijuluki sebagai Syaikh Ar-Rois (Guru ketua) dalam bidang kedokteran
dengan karyanya yang termasyhur Qanun fi Thibb
- Al-farghani
dan Abdurrahman As-shufi, dalam bidang Astronomi yang banyak menghasilkan
karya-karya penting dalam cabang ilmu tersebut.
-
Ferdowsi,
Umar Khayaam dan Mutanabbi adalah pujangga yang termasyhur dengan karya sastra
yang indah dan menawan. Begitu pula dengan Abu A’la Al-Ma’arri yang dikenal
sebagai penyair, penulis dan juga Ahli Filsafat.
- Al-Mas’udi
dalam bidang geografi dan sejarah. Karyanya yang terkenal adalah kitab Akhbar
Az-zaman.
-
Abu
Raihan Al-Biruni dalam bidang matematika, fisika dan juga Astronomi.
Zaman
keemasan yang ditandai dengan kepemimpinan Adud Daulah telah berhasil memajukan
wilayah kekuasaannya dalam bidang infrastruktur dengan memperindah Baghdad,
membangun Masjid-masjid, rumah sakit dan gedung-gedung publik, memperbaiki
kanal-kanal yang usang, dan menyediakan dana bagi lembaga-lembaga penyantun. Pembangunan
ini membantu memajukan perdagangan, pertanian, dan industri terutama industri
permadani. Rumah sakit yang paling terkenal yang pernah dibangun Adud Daulah
adalah Rumah sakit Bimaristan Al-Adudi yang menghabiskan 100.000 dinar pada
saat pembangunannya dengan 24 dokter yang juga menjadi pengajar kedokteran. Sharafud
Daulah penerus Adud membangun Observatorium terkenal mengikuti teladan Khalifah
Al-Ma’mun. pada zaman Baha’ Daulah ia juga membangun akademi di Baghdad lengkap
dengan perpustakaan yang menyimpan 100.000 buku.[9]
Dalam
bidang seni rupa dinasti ini termasyhur dengan keramiknya yang indah bernama
gabri, Buwaihi juga terkenal dengan kaca dan gelasnya yang menawan disamping
seni dan kerajinan logam terutama perak yang mengadopsi ukiran khas dinasti
Sasania yang bercorak hewan buas, burung serta musisi. Pencapaian ini
membuktikan bahwa seni dan kesusastraan mendapat tempat yang terhormat pada
zaman itu.[10]
5.
4. Daftar Pustaka
Hitti, Philip, Dinasti-Dinasti di Timur, Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1997
Karim, Abdul, Islam di Asia Tengah, Bagaskara, Yogyakarta,
2006
Syalabi, Ahmad, Sejarah kebudayaan Islam 3, Pustaka
Al-husna, Jakarta, 1993
Hitti, Philip, History of Arabs, Serambi, Jakarta, 2013
[1] Dr Ahmad
Syalabi, Sejarah kebudayaan Islam 3, Pustaka Al-husna, Jakarta, 1993,
hal: 323
[3] Philip K.
Hitti, History of Arabs, Serambi, Jakarta, hal: 598
[4] Dr. Abdul
Karim, MA, Islam di Asia Tengah, Bagaskara, Yogyakarta, 2006, hal: 24
[6] Dr Ahmad
Syalabi, Sejarah kebudayaan Islam 3, Pustaka Al-husna, Jakarta, 1993,
hal: 328
[7] Philip K.
Hitti, History of Arabs, Serambi, Jakarta, hal: 599-600
[8] Dr. Abdul
Karim, MA, Islam di Asia Tengah, Bagaskara, Yogyakarta, 2006, hal: 25-26
[9] Philip K. Hitti,
Dinasti-Dinasti di Timur, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997, hal: 601
Komentar
Posting Komentar